Mohon tunggu...
Yuka Langbuana
Yuka Langbuana Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Konservatif tertib nalar. Washington State University Senior majoring in Computer Science and Economics Follow saya di Twitter dan Instagram: @YukaLangbuana

Selanjutnya

Tutup

Money

Analisa Korelasi Pembangunan Infrastruktur dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

2 Oktober 2018   10:32 Diperbarui: 2 Oktober 2018   11:42 2623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tabel 2. (Data Tahun 1980. Sumber: World Bank)

Kemampuan membaca dan menulis penduduk Indonesia bisa kita katakan setara dengan kemampuan penduduk Tiongkok. Secara logika, seharusnya penduduk Indonesia juga mampu bersanding secara ekonomi dengan Tiongkok. Kita menemukan anomali disini. Apa yang mungkin menyebabkan anomali tersebut?

Anomali ini disebabkan perbedaan definisi kemampuan membaca dan menulis untuk keperluan statistik. Di Tiongkok, definisi kemampuan literasi adalah kemampuan untuk membaca dan menulis 1,500 karakter Mandarin. Di Indonesia, definisi kemampuan literasi adalah kemampuan untuk membaca dan menulis kata-kata/kalimat sederhana dalam huruf latin. Contohnya adalah "Saya membaca" atau "Saya menulis". Jelas ini tidak cukup kalau kita bandingkan dengan kemampuan membaca dan menulis penduduk Tiongkok yang lebih komprehensif.

Kesimpulan

Terpilihnya Presiden Joko Widodo di tahun 2014 menandai dimulainya pembangunan infrastruktur Indonesia secara cepat dan ambisius. Pembangunan infrastruktur Indonesia didasarkan pada premis bahwa diperlukan pembangunan infrastruktur guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Nyatanya, kita telah membuktikan bahwa tidak ada korelasi yang jelas antara pembangunan infrastruktur suatu negara dengan pertumbuhan ekonominya. Yang Indonesia perlukan adalah pembenahan dan investasi dalam jumlah yang besar pada sektor pendidikan. Dengan penduduk yang cakap secara intelektual, tenaga kerja yang tersedia dalam perekonomian Indonsia tentu akan lebih berkualitas dan mudah untuk berpindah pekerjaan, sesuai dengan kebutuhan ekonomi bangsa hari itu.

Catatan Tambahan: Keynes

John M. Keynes ber-argumen bahwa untuk menstabilkan ekonomi suatu bangsa, diperlukan intervensi pemerintah dalam sistem ekonominya. Pasar tidak bisa dibiarkan menjalankan sendiri keinginannya tanpa menghasilkan stagnasi ekonomi di masa depan. Hal ini terbukti dengan krisis ekonomi tahun 2008, 2001, 1930, dst. Pemerintah, menurut Keynes, perlu menciptakan permintaan ekonomi guna menyeimbangkan faktor-faktor ekonomi lainnya; Jika demand turun terlalu jauh, pemerintah perlu menciptakan demand. Begitu juga dengan supply.

Keynes mengajukan gagasan bahwa salah satu cara pemerintah menciptakan demand adalah dengan menciptakan lapangan perkerjaan. Dalam hal ini, proyek infrastruktur. Seperti yang telah saya jabarkan diatas, proyek infrastruktur diharapkan menciptakan "multiplier effect" pada perekonomian sebuah negara; Tersedianya lapangan kerja meningkatkan pendapatan per-kapita negara yang menghasilkan tambahan pendapatan pajak pemerintah. Pertambahan pendapatan pajak tersebut, sebagai gantinya, akan digunakan untuk membayar hutang luar negeri yang diambil pemerintah hari ini. Disamping itu, dengan banyaknya proyek infrastruktur, bisnis-bisnis lokal akan mengambil kesempatan dengan menjual jasa dan barang pokok guna menunjang pembangunan di daerah tersebut.

Tetapi, juga seperti yang telah kita buktikan diatas, proyek infrastruktur tidak menciptakan pertumbuhan ekonomi yang diprediksikan Keynes. Jika kita lihat juga data dari negara-negara yang menganut Keysian Economics, rasio hutang pemerintah pusat terhadap GDP telah melampaui batas normal. Amerika Serikat sendiri per hari ini memiliki rasio hutang 77% terhadap GDP. Inggris memiliki rasio hutang 88.3% terhadap GDP. Jelas ini adalah indikator bahwa gagasan John Keynes untuk menggunakan pemerintah demi kepentingan stabilisasi ekonomi memiliki kelemahan di dalamnya. Saya dengan senang hati ingin memberikan argumen terhadap John Keynes, tetapi ini topik untuk artikel lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun