"The accumulation of powers, legislative, executive, and judiciary, in the same hands, whether of one, a few, or many, and whether hereditary, self-appointed, or elective, may justly be pronounced the very definition of tyranny". - James Madison
Pasca reformasi tahun 1998, rakyat Indonesia terus belajar berdemokrasi secara dewasa. Dimulai dengan pengadopsian asas-asas dan tradisi-tradisi demokrasi ke dalam roda pemerintahan, hingga mencabut dan menambahkan undang-undang untuk memastikan keberlangsungan demokrasi untuk generasi selanjutnya. Seperti layaknya seorang siswa yang sedang diperkenalkan dengan materi pelajaran yang baru, ada kalanya kita tersesat dan malu untuk bertanya, hingga akhirnya kita memilih jalan yang di masa depan mungkin kita akan menyesal telah memilihnya.
September 2012
Saya saat itu duduk di bangku kelas 10 SMAN 54 Jakarta. Waktu menunjukan pukul 9:00, saatnya pelajaran agama Islam. Guru kami saat itu masuk ke kelas dan memulai pelajaran tentang hukum qisas dan rajam. Kami semua seperti biasa duduk merebahkan badan mendengar materi pelajaran yang disampaikan bak dongeng.
Setelah beberapa menit kami mendengarkan materi dari guru kami, beliau memberikan pernyataan penutup sebelum mempersilakan kami bertanya:
"Islam sebagai agama yang diturunkan Allah S.W.T sudah lengkap meliputi segala sendi kehidupan manusia. Mulai dari bangun sampai tidur, semuanya sudah diatur. Hukum ini adalah hukum yang lebih lengkap dari hukum buatan manusia yang kita miliki saat ini (hukum di Indonesia). Sudah sepatutnya hukum Islam diterapkan di negara kita, karena mayoritas penduduk kita adalah muslim yang harus tunduk pada hukum Allah".
Termenung saya mendengar pernyataan itu. Saya adalah seorang muslim yang harus tunduk pada hukum agama yang saya anut. Di sisi lain saya memikirkan apakah Indonesia secara keseluruhan rela mengganti ideologi negara dengan hukum syariat? Ah, biarlah saya kesampingkan pikiran ini untuk sementara, ada tugas dan PR yang sudah menumpuk untuk dikerjakan.
Dan layaknya anak SMA pada umurnya, pikiran itu lenyap ditelan keceriaan bermain bola dan pencarian tambatan hati...
Agustus 2016
Satu tahun sudah saya meninggalkan tanah air untuk menuntut ilmu di Amerika Serikat. Tiket pulang menuju Soekarno-Hatta terselip di antara lembar paspor saya dan siap menemani perjalanan pulang. Sesekali saya memandang burung garuda yang terpatri pada halaman depan paspor. Rasa rindu merasuki hati akan SMA saya dahulu. Terbayang wajah-wajah guru yang telah mendidik saya, satu per satu teringat ucapan dan pesan mereka hingga tiba memori saya pada guru agama kelas 10 saat itu.
Bak hari kemarin, terngiang perkataannya tentang hukum syariat yang pernah saya kesampingkan dahulu. Di saat itulah saya terbayang akan diri saya sendiri saat baru memulai perkuliahan. Sendirian dan termasuk kaum minoritas di Amerika, rasa ketidakpastian akan perlindungan sosial perlahan menyelimuti saya. Apakah saya akan mengalami diskriminasi? Akankah asal-usul saya menjadi bahan tertawaan? Apakah keyakinan saya akan dilecehkan?
Amerika Serikat adalah negara dengan mayoritas penduduk Protestan. Saya sendiri pernah melihat pendeta-pendeta dan penceramah Protestan datang ke kampus dan menyebarkan pesan Kristus kepada mahasiswa & mahasiswi di sana. Sebagai keyakinan yang dianut oleh sejumlah besar anggota pemerintahan lokal maupun federal, hukum yang mendiskriminasi kaum minoritas seperti saya sendiri akan dengan mudah diimplementasikan. Tetapi mengapa pengalaman saya menunjukan hal sebaliknya? Mengapa status saya sebagai seorang muslim justru memproteksi saya sendiri dari hinaan dan celaan kaum mayoritas di Amerika Serikat?
Para pendiri Amerika Serikat menyadari kelemahan dari sistem demokrasi langsung yang mereka anut. Dengan keadaan di mana satu orang memegang hak atas satu suara, secara teori, golongan dengan jumlah paling besar akan selalu memenangi kontes perebutan tempat dalam kursi pemerintahan. Para pemenang ini tentu datang membawa tuntutan dan keinginan golongannya. Tanpa hukum yang jelas mencegah mereka menabrak kepentingan golongan-golongan yang jumlahnya lebih kecil, tidak ada jaminan bagi kaum minoritas atas hak mereka sebagai warga negara.
Beberapa langkah pun diambil untuk mencegah hal tersebut sebelum terjadi. Banyak hukum disahkan untuk melindungi kaum minoritas: konstitusi yang melarang pembuatan hukum atas dasar agama, warna kulit, dan golongan. Hukum yang melarang diskriminasi untuk pekerjaan publik. Jaminan atas hak individu setiap warga negara. Dan lain sebagainya. Semua didasari dengan satu asas agung dalam kehidupan berdemokrasi: The Rule of Law -kepatuhan atas hukum.
Hidup bersama orang-orang yang dianggap minoritas di Indonesia membuka mata saya bahwa mimpi dan keinginan mereka sangat kuat untuk melihat Indonesia yang lebih baik. Sayangnya keinginan mereka sering kali terdampar sia-sia hanya karena agama yang mereka anut, asal-usul leluhur, atau bentuk kelopak mata mereka. Hati ini tersayat mendengar keluhan-keluhan mereka atas rasa nasionalisme yang gagal untuk disalurkan, dikhianati bangsa mereka sendiri yang gagal menjamin hak-hak mereka.
Saat ini Indonesia masih jauh dari kata sanggup untuk menegakkan hukum secara adil dan merata atas setiap warga negaranya. Dengan pengadilan yang rawan suap, wakil rakyat yang masih terang-terangan bertindak atas nama golongannya, dan guru-guru kita yang masih terkesan menghasut, masih jauh perjalanan kita untuk mewujudkan sila kelima ideologi Pancasila.
Sebagai negara yang pernah dipelintir hukumnya untuk mengakomodir kepentingan kelompok tertentu, rakyat Indonesia saat ini tidak percaya ataupun hormat terhadap hukumnya. Mereka lebih takut kepada orang-orang kuat yang mengaku bertindak atas nama hukum. Ini adalah warisan pemerintah orde lama dan orde baru yang pelan-pelan harus kita hapus dari kehidupan berdemokrasi kita. Ini adalah hal fundamental yang harus diperbaiki sebelum kita bisa menjamin hak-hak setiap warga negara, dan pada akhirnya jaminan atas hak kaum minoritas di Indonesia. Kita semua masih belajar berdemokrasi, dan diharapkan pengalaman ini mampu membentuk karakter bangsa yang lebih dewasa dan arif menjawab tantangan zaman.
Mimpi saya suatu saat adalah menyaksikan seorang kandidat presiden yang ketika dituduh asal-usulnya sebagai warga peranakan Cina, ia cukup menjawab:
"Saya bukan keturunan cina, dan memangnya kenapa kalau saya keturunan cina?"
Yuka
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H