Mohon tunggu...
Rusj
Rusj Mohon Tunggu... Wiraswasta - Semoga bermanfaat.

Biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Cegah Sumbangan "Sukarela" yang Memaksa

28 Mei 2016   02:49 Diperbarui: 3 Juni 2016   11:20 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Mari cegah dan berantas praktek pungutan "sumbangan sukarela" yang memaksa.

Kita semua sudah maklum, bahwa yang namanya sekolah pasti membutuhkan dana untuk sarana dan prasarana, dan berbagai kegiatan penunjang opeasional lainnya. Yang namanya dana, pasti selalu kurang, tidak pernah lebih. Alasan inilah yang selalu dpakai sekolah untuk mencari dana, terutama kepada orang tua siswa baru. Mulai dengan cara santun, cara halus, sampai cara 'memaksa', karena kita sudah tahu bahwa sudah tidak diperbolehkan memungut biaya kepada orang tua siswa.

Sebenarnya gimana sih aturan meminta sumbangan? Utamanya bagi sekolah negeri. Untuk sekolah swasta, sejauh yang penulis tahu, mereka harus berjuang untuk menghidupi dirinya sendiri, sehingga sampai taraf tertentu terjadi lah bargaining antara sekolah dan orangtua siswa. Tapi bagaimana halnya dengan sekolah negeri?

Bisa dimaklumi juga, bahwa seorang kepala sekolah juga adalah pegawai yang butuh dan perlu meniti karir, mengejar target pribadi atau kepentingan lainnya. Sehingga dengan berbagai cara, mereka berusaha agar mendapatkan predikat dan prestasi melalui sekolahnya. Tekanan target prestasi, dana yang terbatas, image pribadi dan sekolah, memaksa kepala sekolah berfikir kreatif dalam mencapai itu semua.

Hal yang wajar jika sekolah, dalam hal ini kepala sekolah berusaha mencari dana agar sekolahnya maju dan berprestasi, yang pada akhirnya mendongkrak karirnya. Akan tetapi bagaimana halnya, jika ia menggunakan otoritasnya kepada orang tua untuk memaksa secara halus untuk memenuhi ambisinya agar terlihat berprestasi?

Posisi tawar orang tua yang lemah.

Kita mahfum, bahwa mendapatkan sekolah yang bagus, saat ini semakin sulit. Banyak faktor yang menjadikan posisi orang tua, lemah dihadapan otoritas sekolah. Persaingan karena supply and demand yang tak sebanding, jarak dari rumah, kualitas sekolah, makin memojokkan posisi tawar orang tua didepan institusi sekolah. Posisi "butuh" inilah, yang sering dengan cerdik dijadikan sebagai komoditi bagi sekolah untuk mencari dana, dengan 'memaksakan' kehendaknya dalam menentukan besarnya "sumbangan", jika anaknya ingin diterima.

Penggunaan otoritas juga dilakukan dengan menggunakan momen-momen seperti ujian, kelulusan, kenaikan kelas, dengan menahan siswa untuk mendapatkan haknya jika tidak mengikuti "aturan" sekolah tersebut, yang ujung-ujungnya dana.

Dengan posisi lemah inilah, orang tua suka tak suka, harus dengan sukarela, menyetujui apa yang disodorkan oleh sekolah untuk memenuhi ambisinya. Mereka biasanya bungkam, karena tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk terjadi pada anaknya.

Layaknya marketer ulung.

Agaknya ada saja kepala sekolah yang cukup piawai dalam melakukan praktek kibul-mengibul seperti ini. Layaknya seorang marketer ulung, dengan memanfaatkan presentasi yang menarik, kebutuhan yang mendesak, waktu yang terbatas, mimpi yang indah, dengan kata kunci, semua demi sekolah. Mereka lalu membuat "closing" begitu indah seolah salesman super, dengan memanfaatkan momen penjualan yang tepat, bahkan seorang ibu tidak sempat bicara dengan suami. Seorang ibu yang lain cukup bingung dan takut, bagaimana dengan dapur bulanannya nanti. Seorang ibu yang 'tajir' dengan indahnya 'membeli' penjualan itu dengan bangga, yang membuat ciut nyali mayoritas yang hidup serba terbatas. Sebuah pertunjukan penjualan yang berlangsung cepat dan menegangkan, dimana orang harus mengambil keputusan berbau tekanan, dalam hitungan menit. Tak peduli dengan keputusan yang akan mempengaruhi kualitas hidup orang, atau kondisi orang saat itu, yang penting 'penjualan sukses'. Wow !

Dengan gaya seperti ini, kita pun bertanya-tanya, ada apa dibalik itu? Sebuah praktek berbau ketidakjujuran, yang dibungkus dengan kosmetik kebaikan.

Tak sampai disitu, sanksi pun berlaku bagi siswa yang orangtua/walinya tak mengikuti 'aturan', atau menjalankan 'kewajiban' yang telah di'setujui'nya itu. Mulai dari tak bisa mengikuti ujian, yang tentu membawa konsekuensi lainnya. Sudah mirip dengan rentenir.

Oknum kepala sekolah tentu saja tidak bodoh. Praktek "sumbangan sukarela" yang memaksa ini tentu saja tak bisa dibuktikan secara hukum. Diatas kertas, takkan ada unsur paksaan, karena orang tua sudah membubuhkan tanda tangan setuju atas sumbangan itu.

Bagaimana aturannya?

Sebagai orang tua, sebagai warga negara, saya perlu tahu, bagaimana sih aturannya? Karena menurut hemat saya praktek-praktek seperti ini harus dihentikan dan harus ada sanksi yang tegas dengan dasar aturan yang jelas. Sebuah keputusan menteri* tentang sumbangan akan jadi ambigu tanpa perangkat aturan dan operasional yang jelas. Oknum, atau oknum-oknum, selalu punya cara untuk mengambil keuntungan dibalik aturan atau kebijakan.

Aturan yang jelas, mengikat dan jelas sangat dibutuhkan.

Siapa yang bisa dimintai sumbangan?

Berapa besar sumbangan?

Bagaimana mekanismenya?

Untuk apa? Apa batasannya?

Bagaimana prosedur pertanggungjawabannya?

Audit? Pelaporan?

Bagaimana mengukur sifat sukarela itu?

Bagaimana jika terjadi penyimpangan?

Apa bentuk-bentuk pelanggaran? Sanksi pelanggaran?

Kemana laporan dilayangkan jika terjadi pelanggaran?

Semua itu perlu dijelaskan dan dijabarkan dibawah payung hukum, tidak sekedar kepmen yang ambigu. Jangan sampai, praktek pungutan memaksa dengan label "sumbangan sukarela", dengan memanfaatkan posisi lemah orang tua ini terus terjadi. Bahkan, meskipun ada dewan sekolah, ini tidaklah cukup. Karena tidak semua orang tua, ataupun anggota dewan mempunyai cukup kekuatan bila praktek itu terjadi. Atau bisa saja mereka menjadi bagian dari penyimpangan itu. Semua bisa terjadi.

Ini adalah sebuah persoalan serius yang terus terjadi dan perlu segera diatasi. Ini juga menunjukkan bahwa sebuah keputusan menteri pun tak efektif tanpa disertai seperangkat aturan, prosedur yang jelas dan baku.

Bagi anda, kita semua yang bisa membantu, marilah kita solusikan persoalan ini. Jangan sampai, sekolah yang menjadi harapan kita, harapan agar anak2 mendapatkan pendidikan yang seluas-luasnya, menjadi sarana untuk ambisi2 pribadi atau praktek2 yang tidak pada tempatnya, entah oleh oknum kepala sekolah atau siapa saja dengan memanfaatkan otoritasnya.

Para orang tua, siapa saja, yang melihat praktek ini terjadi disekolah mari kita cari solusi akan hal ini. Terlebih bagi pemangku pendidikan negeri ini, harusnya mempunyai kebijakan yang komprehensif dalam hal ini. Sop, smp haruslah ada dan jelas dalam penyelenggaraan manajemen sekolah sehingga terhindar dari penyimpangan.

Ayo kita menjadi bangsa yang maju, dan dijauhkan dari segala macam keburukan, termasuk penipuan berbaju taqwa seperti ini. Bagi pendapat anda, info, apapun...demi kemajuan kita.

Trimakasih.

...

Referensi

http://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2014/06/beda-pungutan-dan-sumbangan-menurut-permendikbud-no-44-tahun-2013-2684-2684-2684

http://m.cnnindonesia.com/nasional/20141010112419-20-5999/petisi-warga-tolak-pungutan-liar-muncul/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun