Dengan gaya seperti ini, kita pun bertanya-tanya, ada apa dibalik itu? Sebuah praktek berbau ketidakjujuran, yang dibungkus dengan kosmetik kebaikan.
Tak sampai disitu, sanksi pun berlaku bagi siswa yang orangtua/walinya tak mengikuti 'aturan', atau menjalankan 'kewajiban' yang telah di'setujui'nya itu. Mulai dari tak bisa mengikuti ujian, yang tentu membawa konsekuensi lainnya. Sudah mirip dengan rentenir.
Oknum kepala sekolah tentu saja tidak bodoh. Praktek "sumbangan sukarela" yang memaksa ini tentu saja tak bisa dibuktikan secara hukum. Diatas kertas, takkan ada unsur paksaan, karena orang tua sudah membubuhkan tanda tangan setuju atas sumbangan itu.
Bagaimana aturannya?
Sebagai orang tua, sebagai warga negara, saya perlu tahu, bagaimana sih aturannya? Karena menurut hemat saya praktek-praktek seperti ini harus dihentikan dan harus ada sanksi yang tegas dengan dasar aturan yang jelas. Sebuah keputusan menteri* tentang sumbangan akan jadi ambigu tanpa perangkat aturan dan operasional yang jelas. Oknum, atau oknum-oknum, selalu punya cara untuk mengambil keuntungan dibalik aturan atau kebijakan.
Aturan yang jelas, mengikat dan jelas sangat dibutuhkan.
Siapa yang bisa dimintai sumbangan?
Berapa besar sumbangan?
Bagaimana mekanismenya?
Untuk apa? Apa batasannya?
Bagaimana prosedur pertanggungjawabannya?