***
Aku duduk termenung di dalam kamar. Sebuah ransel besar, pakaian-pakaian milik Pak Sardi, album foto dan sebuah buku novel berserakan di atas tempat tidurku. Kuraih novel horror berjudul ‘Rumah Hantu’ itu. Kubolak balik halamannya.
Gara-gara membaca novel ini, aku jadi sering ketakutan pada hal-hal yang tidak perlu. Ketakutan pada kaumku sendiri. Sampai-sampai aku tak mengenali Agung yang datang kembali mencariku ke sungai malam itu karena cemas melihatku tak pulang-pulang juga. Pantas saja saat itu semua warga desa terheran-heran melihatku yang berlari ketakutan diikuti oleh Agung, sahabatku sendiri.
Kubuka album foto bersampul merah itu. Di dalamnya penuh dengan foto Andri dan kedua orang tuanya. Ada foto Andri saat masih kecil bersama ibunya yang sedang berada di sebuah taman hiburan, Andri kecil yang sedang bermain mobil-mobilan bersama ayahnya di halaman rumah, Andri dan teman-teman sekolahnya, Andri saat sedang menerima piala juara sekolah, kemudian Andri, ayah dan ibunya yang sedang meniup kue ulang tahun bersama-sama.
Aku mendesah dan menutup album foto itu. Terngiang penjelasan ibu tadi malam sewaktu aku baru sadar dari pingsanku.
“Saat ibu berusaha mengembalikan Pak Sardi ke dunia manusia dan ternyata gagal, kamu yang sebelumnya ikut membantu ibu mengobati beliau, menjadi terpukul melihat kondisinya. Kamu anak yang sangat baik, Sari. Hatimu mudah tersentuh. Setelah memeriksa isi tas dan melihat foto-foto keluarganya, kamu nekat ingin menemui mereka untuk memberitahu tentang kondisi Pak Sardi, walaupun kamu tahu adalah hal yang sangat terlarang bagi kita untuk pergi ke dunia manusia.
Dan kamu juga tahu manusia tidak akan dapat melihat dan mendengarmu didunia mereka. Tetapi saat itu ibu tak kuasa mencegah kepergianmu karena ibu juga masih sangat bingung karena harus memikirkan pertanggungjawaban terhadap nasib Pak Sardi.
Dan setelah melihat sendiri apa yang terjadi padamu kemudian, barulah kami semua mengetahui alasannya, mengapa sangat terlarang bagi kaum kita untuk bersentuhan dengan dunia manusia. Kamu menjadi sangat tertarik dengan pola pikir mereka, gaya hidup mereka, pergaulan mereka, dan sifatmupun semakin lama semakin mirip manusia. Kamu juga menjadi lupa akan tujuan awalmu pergi ke dunia mereka. Apalagi keputusan bapak untuk pergi meninggalkan kita membuatmu sangat terpukul dan pikiranmu menjadi semakin kacau.
Lalu kamu mulai merasa dirimu adalah manusia, dan Pak Sardi itu adalah kakekmu. Setiap hari kamu pergi ke dunia manusia dan berkhayal seolah-olah berteman dengan mereka. Percakapan mereka yang terdengar olehmu, kamu anggap sebagai dialog dua arah diantara kalian. Dan tanpa disadari, lama kelamaan kamupun bisa mendengar suara hati mereka. Kamu juga sampai berani mencuri pakaian di desa manusia yang paling dekat dari sini untuk kamu pakai, dan mencuri buku-buku milik manusia di kota untuk kamu bawa pulang.
Ibu yang terlalu larut dalam perasaan bersalah terhadap Pak Sardi, menjadi terlambat untuk bertindak. Disamping itu ibu juga takut pikiranmu akan bertambah kacau kalau tidak berhati-hati dalam menyadarkanmu. Tetapi disaat ibu sedang mencari cara yang paling tepat, kamu sudah terlanjur mempengaruhi pikiran Andri untuk masuk kesini. Ibu sangat terkejut sewaktu kemarin Agung melaporkan melihat kamu datang dengan Andri melalui jalan setapak. Saat itu ibu baru menyadari telah membuat kamu melakukan kesalahan yang sama seperti ibu. Maafkan ibu, Sari…”