Kepalaku terasa pusing. Kusandarkan tubuh ke dinding di belakangku.
“Empat bulan lalu, saat ibu sedang tugas berjaga di hutan, ibu menemukan Pak Sardi dalam kondisi luka parah karena jatuh ke jurang. Kakinya patah dan bagian belakang kepalanya mengucurkan darah. Karena udara sangat dingin, dan melihat kondisi lukanya yang harus segera ditolong, ibu pikir terlalu lama kalau ibu harus mengambil obat-obatan dulu dari desa ..... jadi... ibu putuskan untuk... membawa Pak Sardi mm… melalui … lu ... lubang… di….”
Aku menatap ibu bingung. Berjaga apa ? Lubang apa ?
“Lalu ??” Andri bertanya dengan gusar. “Kalau kalian tidak bisa mengobatinya, kenapa kalian tidak membawanya ke rumah sakit di kota saja ? Kenapa kalian kurung ayahku disini ? Dan kenapa kondisi ayah bisa seperti ini ?” lanjutnya penuh emosi.
“Ehm... maaf, biar saya yang meneruskan penjelasannya,” sela Pak Kepala Desa. Andri mengalihkan pandang ke arahnya.
“Maaf Nak Andri. Kami bukan bermaksud mengurung Pak Sardi disini. Begini…... Gunung Nawang ini sangat tinggi, luas dan berbahaya area pendakiannya, sehingga manusia beresiko tersesat di dalamnya. Nah, tugas utama kami penduduk desa ini adalah untuk membantu manusia yang tersesat supaya bisa bertahan hidup dan menemukan jalan pulangnya kembali.”
Mataku berkunang-kunang. Kepalaku semakin pusing.
“Sayangnya suatu hari, Bu Ratih ini,” Pak Kepala Desa menganggukkan kepala kearah ibuku,” Dengan segala ketidaktahuannya, telah membuat suatu kesalahan fatal yang mengakibatkan kondisi fisik Pak Sardi menjadi seperti ini."
Andri melipat tangannya di dada, menunggu dengan tidak sabar.
Cerita apa yang sedang dikarang oleh Pak Kepala Desa ? Kupejamkan mata menahan denyut berirama yang terasa semakin berat dikepalaku.
“Ia tidak tahu, bahwa alasan dibuatnya peraturan yang melarang membawa manusia masuk ke desa ini, adalah karena apabila ada seorang manusia yang sudah terlanjur melewati jalan setapak itu untuk masuk, maka ia tidak akan bisa keluar lagi dalam kondisi yang sama seperti sebelumnya,” lanjut Pak Kepala Desa.