“Kamu sudah menyerahkan tugas bahasa inggris belum Sar ?” tanya Andri. Aku menggeleng.
Belum nih,” jawabku, ”Masih bingung menentukan tema karangannya. Soalnya aku juga belum terpikir sih nanti mau berkarir sebagai apa.”
“Kok serius banget Sar. Ngarang aja lah. Batas waktunya tinggal dua hari lagi lho. Kalaupun nanti karier kita yang sebenarnya ternyata nggak sesuai dengan tugas mengarang bahasa inggris sewaktu kuliah, kan nggak akan pengaruh kemana-mana.”
“Ooh…. iya yaa…,” sahutku menyadari kebodohanku. Andri terkekeh geli.
Itulah Andri. Periang dan banyak teman. Bergaul dengan semua orang. Tidak peduli miskin atau kaya. Padahal di garasi rumahnya terparkir sebuah mobil sedan dan sepeda motor, tetapi dia memilih untuk pulang pergi ke kampus dengan menggunakan angkutan umum.
Dan ia pasti juga sudah memperhatikan penampilanku yang sangat dibawah standard ini. T-shirt yang sudah kupakai ulang meskipun belum lewat seminggu, celana jeans yang harus kucuci cepat-cepat sepulang kuliah agar langsung kering esok paginya, tas kulit sintetis warna coklat dengan model out-of-date yang kelihatan sekali aku wariskan dari seseorang, dan sepatu flat biru tua yang sudah memudar warnanya tak pernah lepas dari kakiku. Tapi ia tetap saja mau berteman denganku.
“Terus kalau kamu bagaimana Ndri ? Rencananya mau berkarir sebagai apa ?” tanyaku.
“Penyiar TV ,” jawab Andri mantap.
“Woow…!” seruku kagum sambil menoleh ke arahnya. Andri nyengir melihat tanggapanku.
“Setelah lulus nanti aku ingin pergi ke Jakarta, mau coba cari kerja disana. Kalau memungkinkan aku mau ambil kuliah broadcasting dulu sebelumnya.”
“Iya benar tuh, di Jakarta kan lebih banyak kesempatannya ya, untuk bidang yang kamu minati. Tapi kenapa nggak sejak awal aja kamu daftar kuliah di kampus yang ada jurusan broadcastingnya ?”