Rizal De Loesie
Aku menanam benih itu bertahun lalu, Â
di rahim waktu yang tak terucap, Â
menitipkanmu pada tangan takdir, Â
yang lebih lembut dari sekadar genggaman ayah
Kau tumbuh, melawan musim, Â
kadang patah di tiupan angin, Â
kadang luruh saat panas mencambukmu, Â
namun kau tetap bertahan, Â
meski langkahmu tertatih merangkai hari
Setiap tetes peluhmu adalah cermin, Â
yang memantulkan harapan di dalam dadaku, Â
di sana kau berlari dalam bayang impian, Â
yang belum penuh kujemput dengan tanganku Â
Sebab, anakku, perjalananmu adalah teka-teki, Â
di mana setiap jawaban terselip di balik waktu, Â
dan aku hanya bisa menunggu, Â
dengan sabar yang kucicil sedikit demi sedikit, Â
menggenggam doa yang terus kupanjatkan, Â
seperti akar yang terus menyusup dalam tanah.
Namun, ada saat di mana dada ini terasa berat, Â
belum kutemui senyumanmu, Â
belum kulihat dirimu sampai di puncak bukit yang kutatap dari jauh
Bukan karena aku ragu, Â
tapi waktu adalah rahasia yang selalu diselimuti kabut, Â
dan aku tak lebih dari seorang ayah, Â
yang menabur benih cinta, Â
di tanah yang sepenuhnya milik Allah
Kadang, aku berbisik pada malam, Â
mengadu pada-Nya tentang ketakutan yang tak berwajah, Â
mampukah aku menyaksikan hari di mana namamu terukir di langit biru? Â
Tapi kemudian, aku sadar, Â
bahwa kita hanyalah pejalan, Â
yang meniti takdir di atas titian rapuh, Â
mengayuh doa dalam lautan ikhtiar Â
dan pada akhirnya, menyerahkan seluruh mimpi pada tangan-Nya.
Anakku, di setiap langkahmu, Â
terdapat kasih yang kurawat dalam diam, Â
dan kesabaran yang kuciptakan dari pecahan-pecahan doa
Mungkin aku belum melihat akhir dari perjalananmu, Â
tapi kutahu, Â
Allah adalah hulu dan muara segalanya, Â
dan pada-Nya, segala jawaban akan bermuara, Â
tak peduli seberapa panjang jalan yang harus kita tempuh
Bandung, 1 Oktober 2024