Sementara Yuda setelah selesai kuliah di IPB kembali ke Kampung dan berkarya mandiri dengan kerja apa saja yang berhubungan dengan hutan. Pekerjaan pemetaan, survey dan apapun yang terkait dengan hutan.
Ada kesempatan kerja untuk mengabdi di pedalaman Sumatera Yuda tak membiarkan kesempatan itu. Sudah lama dia inginkan. Pekerjaan yang mapan untuk modal nantinya melamar Asih sebagai istri. Asih setuju saja setelah 3 tahun hubungan mereka serius, tentunya keinginan membina rumah tangga itu suatu hal yang diimpikan seorang wanita. Apalagi usia Asih sudah menginjak 24 tahun.
Asih dan Yuda masih duduk di bangku di depan stasiun Bus yang akan berangkat ke Jakarta. Masih pukul 1 siang, bus akan berangkat 30 Menit lagi.
"Aa, hati-hati ya Aa"
Yuda memandang dalam ke bening bola mata asih. Ada tetes embun bergelimang di sana. Ada keteduhan dan keikhlasan yang amat luas. Ada bilur kesedihan di raut wajah yang putih bersih itu. Bibir Asih bergetar berdentam di jantung Yuda. Bibir merah itu seakan membangun berjuta kalimat yang hanya bermakna satu. Kesedihan.
Yuda memegang tangan Asih amat lembut, seakan menyentuh untaian mutiara di balut embun.
" Iya, aa tahu, Asih. Sudah. Apapun yang Asih pikirkan Aa dapat merasakannya, dan itu akan sama dengan Aa. Jaga dirinu ya , Asih"
Asih tertunduk, begitu sulit menyusun kata berikutnya, seperti burung yang lagi terbang tiba-tiba sayapnya basah. Di basahi bulir hangat yang jatuh di kedua pipi Asih.
Yuda tahu, dan menyambut bulir itu dengan telapak tangannya, mengusap kelopak mata Asih dengan lembut.
"sampai di Jakarta kabari aku ya, Aa"
Yuda tak menjawab, tetapi merangkul bahu Asih mendekat padanya dan berbisik. "Tidakkah tahu sesungguhnya dengan Aa, sekeping hati Aa tinggal di sini."