Mohon tunggu...
Rizal De Loesie
Rizal De Loesie Mohon Tunggu... Administrasi - Seorang Lelaki Penyuka Senja

Rizal De Loesie, Terkadang Rizal De Nasution dari Nama asli Yufrizal mengalir darah Minang dan Tapanuli. Seorang Lelaki yang sering tersesat di rimba kata

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi Terakhir

28 Februari 2019   15:33 Diperbarui: 28 Februari 2019   16:25 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku tidak akan pernah lagi menulis puisi. Sudah kukatakan berulangkali pada dinding dan jemari hujan yang perlahan membekukan kenangan dalam peti-peti kematian. Hujan masih turun sayang, jemarinya tak pernah lelah menjamah bumi dengan desau dan igau. Menjernihkan dan menghancurkan. Seperti itulah, sebuah sajak kutulis kelak dipenghabisan. Sajak terakhir.

Malam ini kesetiaaan se cangkir kopi masih mengapungkan guratan - guratan dan catatan tentang perjalanan. Jejak bercaknya menggenang di bibir cangkir yang tak pernah sekali pun kau tuang. Engkau sudah begitu lupa dengan cara menyenangkan cangkir dan alasnya yang kian remuk di dera rindu

Biarlah malam ini berinsut menjamahi bulir-bulir embun di helai daun. Daun yang begitu lama terbasuh kerontang siang. Setidaknya, embun mencumbui sesaat sebelum matahari kian lama kian garang menghujat dedaunan yang hanya bertabah dengan diam.

Puisi bertahan, tidak akan bertunas apalagi berbiak dengan rajutan kata-kata yang harus disembunyikan. Seperti rindu yang harus dibalut tabir-tabir awan. Untuk melupakan luapan dan gelombang ombak yang tak kan pernah lagi mencandai karang.

Tapi. Tahukah engkau, tidak ada yang bisa abadi disembunyikan atau dipertahankan. Bila bara ini dipermainkan sekali pun angin  malam yang sunyi, kian menyala baranya. Malam biarlah memakamkan kesunyian, sementara bara akan mengunggun tungku, di sana engkau akan lihat betapa berat untuk bertahan.

Ketika langkah dan puisi telah berasa mati, bara tiada henti menguak dan membelah cakrawala, memutus tali-tali layar, lepas dan mengarungi samudera dalam gulitanya.

Pusi hanya sejenak berhenti dalam ritma alami, setelah itu lahir puisi terakhir. Menyudahi segala jeruji-jeruji, karena kata, kata hati tidak bisa di dustai

Bandung, 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun