Aku tidak akan pernah lagi menulis puisi. Sudah kukatakan berulangkali pada dinding dan jemari hujan yang perlahan membekukan kenangan dalam peti-peti kematian. Hujan masih turun sayang, jemarinya tak pernah lelah menjamah bumi dengan desau dan igau. Menjernihkan dan menghancurkan. Seperti itulah, sebuah sajak kutulis kelak dipenghabisan. Sajak terakhir.
Malam ini kesetiaaan se cangkir kopi masih mengapungkan guratan - guratan dan catatan tentang perjalanan. Jejak bercaknya menggenang di bibir cangkir yang tak pernah sekali pun kau tuang. Engkau sudah begitu lupa dengan cara menyenangkan cangkir dan alasnya yang kian remuk di dera rindu
Biarlah malam ini berinsut menjamahi bulir-bulir embun di helai daun. Daun yang begitu lama terbasuh kerontang siang. Setidaknya, embun mencumbui sesaat sebelum matahari kian lama kian garang menghujat dedaunan yang hanya bertabah dengan diam.
Puisi bertahan, tidak akan bertunas apalagi berbiak dengan rajutan kata-kata yang harus disembunyikan. Seperti rindu yang harus dibalut tabir-tabir awan. Untuk melupakan luapan dan gelombang ombak yang tak kan pernah lagi mencandai karang.
Tapi. Tahukah engkau, tidak ada yang bisa abadi disembunyikan atau dipertahankan. Bila bara ini dipermainkan sekali pun angin  malam yang sunyi, kian menyala baranya. Malam biarlah memakamkan kesunyian, sementara bara akan mengunggun tungku, di sana engkau akan lihat betapa berat untuk bertahan.
Ketika langkah dan puisi telah berasa mati, bara tiada henti menguak dan membelah cakrawala, memutus tali-tali layar, lepas dan mengarungi samudera dalam gulitanya.
Pusi hanya sejenak berhenti dalam ritma alami, setelah itu lahir puisi terakhir. Menyudahi segala jeruji-jeruji, karena kata, kata hati tidak bisa di dustai
Bandung, 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H