Lelaki itu, sederhana dan penghiba
Badannya biasa saja, duduk seperti biasa di dekat jendela
Halamannya ada melati, kenanga dan kemboja,
Yang nanti dia tanam juga di pusara,
Bekas rintik hujan sore, masih menggulir bening di denaunan
Jatuh satu persatu ke dalam remuk jiwanya, dari rajah-rajah luka
Tersimpan menjadi hitam awan yang mencumbu hujan,
Hujan ini dia mimpikan, bila petang menghirup secangkir kopi
Yang dia tating sendiri ....
**
Piuh-piuh senja akan datang seiring burung camar, kenang pada laut
Melukis dalam garis kerut keningnya, satu persatu bulu yang runtuh
Pada sayap kenangan,
Jejak telapak dan rajam kata yang selalu dihirupnya,
Sepanjang perjalanan itu, manik-manik rindu kecut, cinta yang rurut
Pada ketiaadaan menumpangkan salah dan dosa
Dia hanyalah dedaunan yang di tadah angin.
**
Kini, tak segemingpun derak hatinya, perlahan nafas  memanjang,
Menghirup semesta, membuang nelangsa. Meraba titik aura
Menjelma menjadi roh-roh pada tali kundalini,
Memanggang kebekuan-kebekuan dupa hidupnya
Lalu, seiring doa-doa pada yang kuasa. Letih jiwa menjadi putih
Terus ke ujung cakrawala, sebelum aku singah di langit
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H