Mohon tunggu...
Yudo Mahendro
Yudo Mahendro Mohon Tunggu... Ilmuwan - sosiologi, budaya, dan sejarah

Alumni UNJ, belajar bersama Masyarakat Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pentingnya Pendidikan "Nafas Lama" di Jakarta

6 September 2018   10:29 Diperbarui: 6 September 2018   11:17 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sebagai lulusan UNJ yang dulu bernama IKIP Jakarta, sedikit banyask saya mengerti tentang pendidikan, khususnya pendidikan formal. Dalam konteks pendidikan formal, proses dilangsungkan dalam ruang-ruang kelas yang lengkap dengan sarana dan prasarana penunjang. Waktunya pun terjadwal, umumnya dilaksanakan dari pagi hingga menjelang sore.

Di Jakarta, ranah pendidikan formal semakin fenomenal terutama dengan adanya KJP (Kartu Jakarta Pintar). Dengan kartu itu, setiap siswa yang tidak mampu mendapatkan bantuan langsung dari pemda yang dapat dibelanjakan kebutuhan si anak. Lebih jauh, karena kondisi ekonomi yang sulit, uang KJP juga diperluas bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan siswa namun juga keluarga siswa.

Selain KJP, siswa juga mendapatkan banyak kemudahan lainya, seperti bus sekolah yang siap mengantarkan mereka dari dan menuju sekolah. Dengan demikian, siswa sudah dipenuhi semua kebutuhannya mulai dari perlengkapan sekolah, kebutuhan gizi, hingga transportasinya.

Guru, sebagai elemen utama dalam pendidikan formal juga tidak kalah dilengkapi kebutuhannya. Guru-guru PNS di Jakarta sudah mendapatkan kesejahteraan dengan tunjangan daerah yang sangat besar. Meskipun masih menyisakan cerita pilu dari guru-guru honorer baik di sekolah negeri maupun swasta, namun secara umum sebagian besar dari mereka sudah dipenuhi kebutuhannya.

Hal ini tentunya terkait erat dengan amanah UU sisdiknas No. 20 Tahun 2003 yang secara tegas tertulis tentang anggaran pendidikan yang harus dipenuhi oleh pemerintah dan pemerintah daerah ialah 20 % dari APBN maupun APBD.

Kini pemerintah di semua level dengan dana yang memadai, berlomba memajukan pendidikan, khususnya pendidikan formal. Dengan segala kelengkapan itu, pendidikan formal diharapkan semakin ramah dengan semua kalangan masyarakat Jakarta, terutama kelompok masyarakat ekonomi bawah.

Pendidikan versus Pengajaran: Hilangnya Transfer Nilai

Pengajaran sesungguhnya bagian dari pendidikan. Namun, pada saat ini banyak orang mempersamakan dua hal tersebut, sehingga ketika membahas pendidikan yang selalu mengemuka ialah pendidikan formal. Hal ini dikarenakan adanya kebutuhan yang semakin tinggi terhadap "ijazah" sebagai modal untuk mendapatkan pekerjaan formal. Sehingga ada sesuatu yang substansial namun hilang dari nafas pendidikan itu sendiri; transfer nilai.

Permasalahan transfer nilai ini menjadi hal yang mulai banyak dibahas oleh masyarakat. Terutama melihat perkembangan teknologi informasi yang semakin deras menyebabkan pergeseran nilai-nilai menjadi begitu cepat. Para orang tua merasa pendidikan formal kini tidak lagi mampu membentuk siswa untuk berprilaku sesuai dengan nilai-nilai sopan santun.

Keresahan ini semakin meluas, hingga pemerintah sejak beberapa tahun belakangan sudah menyuarakan pentingnya pendidikan karakter. Lebih jauh, pemerintah mengeluarkan kurikulum 2013 yang dalam pembelajaran semua mata pelajaran dikaitkan dengan nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan. Dengan pendidikan karakter tersebut diharapkan sekolah kembali kepada khitoh "transfer nilai".

Sejauh ini upaya tersebut dirasa masih belum berjalan optimal, terutama ditengah arus 'komerisal' yang semakin menguat di dalam dunia pendidikan kita. Orientasi utama sekolah maupun menyekolahkan anak tak lain ialah mendapatkan pekerjaan yang layak.

Dengan demikian, pendidikan yang tidak berkaitan langsung dengan dunia kerja dianggap tidak lagi penting. Begitupun para guru, mereka kini menjadi pekerjaan "professional" yang hanya terkait di ruang kelas sekolah.

Nafas lama masih ada

Jauh dari sarana dan prasarana yang lengkap dan memadai, dengan segala kesederhanaan dan keterbatasan masih banyak aktor-aktor yang konsiten bergerak melakukan proses "transfer nilai". Selama beberapa bulan belakangan intensif mengunjungi kampung-kampung padat di Jakarta Pusat dan Jakarta Utara, saya dan tim bertemu langsung dengan aktor-aktor tersebut.

Tanpa harus menyebut nama mereka satu persatu, tulisan ini ingin menggambarkan bagaimana mereka dalam keterbatasan terus melakukan kerja-kerja transfer nilai dengan serius dan istiqomah.

Yang mereka ajarkan memang tidak sama dengan yang yang diajarkan di bangku sekolah. Mereka mengajarkan ilmu keislaman, beladiri khas Jakarta, silat, dan juga lingkungan hidup. Umumnya rumah mereka terbuka untuk umum, menerima siapa saja yang ingin belajar baik dari berbagai latar belakang usia, sosial dan ekonomi.

Selain memberikan pemahaman, mereka juga menanamkan nilai-nilai seperti kesederhanaan, keterbukaan, toleransi, kesabaran, dan keikhlasan. Proses transfer nilai tidak dilakukan secara formal, melalui dialog-dialog santai dan sederhana.

"Ilmu itu warisan para nabi, jangan dikomersialkan" kata salah seorang guru agama di Johar Baru. Kalimat singkat yang penuh makna. Mereka bergerak tidak atas dasar mencari keuntungan dari aktivitas pendidikan yang mereka langsungkan. Ini merupakan kelanjutan dari sistem pendidikan informal yang sudah berlangsung lama. 

Dengan demikian, melakukan transfer nilai ialah bagian dari amanah yang mereka emban dengan sepenuh hati. Sehingga, tidak sedikit masyarakat yang datang ke rumahnya untuk sekedar bertanya dan mencari solusi atas permasalahan hidup yang mereka hadapi sehari-hari.

Kehadiran mereka menjadi mata air keteladanan yang semakin sulit di dapat di kota besar seperti Jakarta. Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi yang arus besarnya ialah "komersial" dan "professional" ternyata masih menyimpan nafas-nafas lama yang konsisten mengedepankan hal-hal ideal yang tak lain melengkapi kebutuhan sosial dan spiritual masyarakat Jakarta.

Jika kita tilik undang-undang Sisdiknas, sesungguhnya peran-peran merekalah yang lebih fokus pada tujuan pendidikan nasional "menjadi(kan) manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu..". Sudah selayaknya, mereka juga mendapatkan perhatian yang sama dari pemerintah daerah Jakarta atas kerja-kerja yang mereka lakukan. Teman-teman setuju?

Kebon Sirih, 5 September 2019
Anggoro Yudo Mahendro

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun