Namun jika kita melihat dari kacamata undang-undang cagar budaya, di dalam Pasal 12 ayat 1 sampai 4 Undang-Undang nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya  diatur mengenai masalah kepemilikan dan/atau penguasaan benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, dan/atau situs cagar budaya, namun tetap memerhatikan fungsi sosial, dan juga telah memenuhi kebutuhan negara. Apa yang dimaksud dengan ¨memenuhi kebutuhan negara¨? Dalam penjelasan Pasal 12 ayat 2 Undang-Undang Cagar Budaya dikatakan:
Yang dimaksud dengan ´telah memenuhi kebutuhan negara´ adalah apabila negara sudah memiliki Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur Cagar Budaya yang jumlah dan jenisnya secara nasional telah tersimpan di museum Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah serta di situs tempat ditemukannya.
Artinya, Jika objek cagar budaya tertentu (khususnya Patung Selamat Datang) berada dalam jumlah yang cukup besar sehingga negara dapat memenuhi semua kebutuhan publik tanpa harus memonopoli kepemilikannya, maka kepemilikan oleh individu dan/atau entitas swasta dapat dipertimbangkan.
Hal krusial lainnya yang luput dari pandangan kita adalah mempertanyakan untuk menelaah lebih dalam tujuan pembuatan monumen tersebut. Apakah terdapat bukti historis yang menjelaskan bahwa ada tujuan pengambilan bagian dari para pendahulu kita terkait pembuatan patung tersebut untuk kemudian dijadikan milik pribadi, yang kemudian kepemilikan pribadi tersebut diharapkan dapat menghasilkan profit material-finansial bagi pemegang hak tersebut? Sejarah resmi yang kita peroleh bahwa tujuan pembangunan monumen Selamat Datang semata-mata untuk menggambarkan keterbukaan bangsa Indonesia menyambut para atlet Asian Games yang datang dari berbagai negara. Tidak ada motif meraih profit dari pengerjaan patung tersebut, sebagaiamana yang biasa terjadi ketika suatu kelompok sedang mengerjakan proyek pembuatan suatu karya cipta demi memperoleh manfaat ekonomi. Disamping itu pula, pada masa negeri ini baru merdeka, Soekarno selalu mendorong para seniman untuk membuat karya yang berorientasi pada nasionalisme bangsa.
Jika melihat penciptaan suatu karya dari sisi tujuan, suatu karya dapat diciptakan untuk dimiliki secara pribadi, namun dapat juga untuk tujuan lainnya. Sebagai contoh, suatu karya dicipta untuk dimiliki kepada pihak lain karena adanya ikatan transaksional, ataupun karya tersebut dimaksudkan untuk identitas kolektif bangsa sebagaimana tujuan dari pembuatan Patung Selamat Datang ini. Ketika Edhi Sunarso mengatakan bahwa patung yang dirancangnya berdasarkan sketsa yang dibuat oleh Henk Ngantung, secara pragmatika bahasa, Edhie mengakui secara de facto bahwa Henk Ngantung adalah pihak yang membuat sketsa, bukan dirinya maupun orang lain. Perihal pertanyaan terkait hubungan antara pencipta dan ciptaannya pernah saya singgung  dalam tulisan berjudul Tato dan Identitas Individu.
Kasus ini menunjukkan tantangan yang muncul ketika warisan budaya yang memiliki makna historis berhadapan dengan kepentingan komersial. Latar belakang sejarah dan motif para bapak bangsa dalam pembentukan tugu, status cagar budaya yang melekat pada tugu, dan eksistensi undang-undang cagar budaya kurang menjadi perhatian di pengadilan terkait sengketa hak cipta Patung Selamat Datang ini. Majelis hakim juga kurang berani dalam memberikan batasan hak cipta, terutama sekali dalam aspek pewarisan. Amat disayangkan karena monumen tersebut hanya dipandang dalam spektrum kemanfaatan ekonomi suatu kelompok saja, dan melupakan tujuan dibangunnya tugu tersebut sebagai simbol kebanggaan suatu bangsa yang diwariskan oleh para pendahulu kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H