Merek sebagai Pengenalan kepada Masyarakat
Merek merupakan identitas agar khalayak mengenali produk barang dan jasa yang ditawarkan. Dalam hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang membidangi merek menganjurkan agar produsen menciptakan tanda pengenal yang khas, yang unik, yang berbeda satu sama lain sehingga konsumen tidak mengalami kebingungan dalam mengenali suatu merek. Â
Apa yang membuat merek tersebut dikenal? Banyak faktor yang berkontribusi, salah satunya adalah cara pemasaran dari merek tersebut dalam memperkenalkan diri di masyarakat.
Apabila produk barang dan/atau jasa yang diproduksi dikenal memiliki kualitas yang baik, maka merek dapat menjadi tameng untuk melindungi reputasi produk dari pembajakan/pemalsuan, dan pelanggaran persaingan dagang lainnya. Â
Oleh karena itu Undang-Undang nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis memberi perlindungan bagi produsen/pemilik merek. Banyak merek yang dikenal luas oleh masyarakat, saking dikenalnya merek tersebut seakan-akan memiliki energi magis yang tidak dapat dipisahkan dari benak masyarakat.Â
Sebagai contoh, ketika kita mendengar kata Lamborghini maka di benak kita secara otomatis akan mengarah pada mobil sport berkecepatan tinggi yang hanya bisa dimiliki oleh segelintir orang dengan ekonomi yang mapan.
Akhir-akhir ini para pelaku bisnis menerapkan kreativitas pada merek-mereknya yang sifatnya menarik perhatian masyarakat, sehingga muncul merek-merek dengan grafis maupun nama yang unik, bahkan ada yang cenderung nyeleneh.Â
Dengan begitu secara alamiah orang-orang dapat  mengingat merek-merek kreatif tersebut, bahkan dalam keadaan baru bangun tidur sekalipun. Ini merupakan nilai plus, namun apa jadinya jikalau merek yang dibuat nyeleneh tersebut mulai menyentuh ranah kesopanan dan kesusilaan?
Kaitan Psikologi Akan Sesuatu yang Mudah Diingat
Alinea ke empat Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 menyatakan, "...kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...".Â
Dalam berbagai penafsiran yang berorientasi pada materi-finansial, negara wajib memfasilitasi sekaligus mendukung masyarakat di dalamnya untuk dapat menghidupi diri agar mencapai kesejahteraan, salah satunya dengan membuka akses untuk berbisnis.Â
Dalam berbisnis tentu ada aturan-aturan yang harus diperhatikan para pelaku usaha, seperti jenis barang yang diperdagangkan, metode penjualan yang tidak merusak iklim bisnis dalam negeri, sampai penentuan merek yang ditampilkan sebagai identitas bisnisnya.
Penentuan merek dagang merupakan perkara konvensional di samping membuat dan/atau menjajakan produk yang dijualnya. Simbol grafis dan/atau nama yang dibuat untuk merek biasanya dipilih yang terlihat dan/atau terdengar sederhana namun berkesan dan mudah dikenal di benak masyarakat.Â
Tahap ini bukanlah pekerjaan yang mudah, karena dibutuhkan riset mendalam terhadap perilaku konsumen demi terciptanya merek yang diharapkan. Akhir-akhir ini kita sering melihat merek-merek  yang terdengar tabu, baik itu merek yang terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM (c.q. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual/Dirjen HKI), maupun yang tidak terdaftar, dan fenomena ini mayoritas terjadi pada bisnis jajanan/makanan.Â
Bahkan kata-kata tabu tersebut acap kali dibuat samar, maupun diterjemahkan ke dalam bahasa asing non-Inggris agar konotasi buruk dari kata yang dimaksud tersembunyikan. Tentu kita akan merasa tidak nyaman apabila anak maupun keponakan kita menyebut merek tersebut ketika ingin membeli jajanan yang dimaksud.
Dalam suatu masyarakat terdapat nilai dan norma tertentu yang harus dipatuhi, yang apabila dilanggar maka pelanggar tersebut akan memperoleh sanksi sosial, dan sanksi sosial memiliki efek hukuman yang cukup ¨intimidatif¨.Â
Bagi seseorang yang memiliki moralitas dan cenderung patuh akan nilai dan norma yang berlaku tentu akan merasa tidak nyaman dalam hatinya untuk berucap maupun bertindak sesuatu yang dilarang, namun bagi seseorang yang bersifat ¨liberal¨ batasan norma yang ditentukan masyarakat terkadang merupakan kekangan dalam berekspresi.Â
Ketika batasan norma ini mulai didobrak dan masyarakat mulai memaklumi hal-hal yang awalnya dilarang menjadi sesuatu yang normal, bagi seorang ¨liberal¨ tersebut terdapat perasaan nyaman yang, dalam psikologi, ada kaitannya dengan konsep katarsis, di mana pelepasan ketegangan emosional atau tekanan batin melalui tindakan tertentu seperti melanggar norma atau aturan, dapat menimbulkan perasaan lega, bahkan euforia.
Dalam beberapa penelitian disimpulkan bahwa perasaan senang dapat memperkuat daya ingat. Ketika seseorang berada pada kondisi gembira, tubuh akan mengeluarkan hormon dopamin dan serotonin, yaitu zat kimia yang berfungsi sebagai neurotransmitter, yang kemudian difungsikan untuk mengirim pesan antar sel saraf di otak.Â
Di samping itu pula, ujaran yang dianggap tabu sering kali memicu reaksi emosional yang kuat, seperti kejutan, tawa, atau bahkan rasa tidak nyaman. Emosi yang kuat ini juga turut berperan dalam memperkuat memori, membuat informasi tersebut lebih mudah diingat. Kekhususan inilah yang membuat ujaran tabu lebih menonjol dan mudah diingat. Dalam psikologi terdapat konsep yang disebut Von Restorff Effect, di mana sesuatu yang berbeda dari yang lain dalam suatu himpunan lebih mudah untuk diingat.
Beberapa riset spesifik yang tertuang dalam jurnal di laman situs National Center For Biotechnology Information berjudul ¨The Influence of Emotion on Learning and Memory¨ (www.ncbi.nlm.nih.gov), serta buku berjudul "Memory and Emotion" yang ditulis oleh pakar neurolog, James L. McGaugh, menunjukkan bahwa emosi memainkan peran penting dalam perekaman kognitif.Â
Penelitian lain seperti yang dilakukan oleh Timothy Jay, pakar psikolinguistik, mengkaji bagaimana kata-kata tabu lebih mudah diingat. Jay berpendapat bahwa kata-kata yang dianggap tabu sering kali memiliki asosiasi kuat dengan pengalaman pribadi atau sosial yang emosional. Secara keseluruhan, keterikatan emosional, pelanggaran norma, dan kekhususan merupakan faktor utama yang membuat ujaran-ujaran menyinggung kesusilaan lebih mudah diingat dibandingkan dengan ujaran yang lebih netral atau edukatif.
Frame Of Reference Sosiologi dalam Memandang Merek Kekinian
Merek dagang dapat menjadi viral karena faktor produk yang dihasilkan dapat diterima masyarakat, karena arus tren yang dilakukan segelintir orang yang kemudian diikuti oleh masyarakat banyak, maupun karena sensasi yang ditampilkan.Â
Sebagaimana fenomena es krim Mixue 2 (dua) tahun lalu yang terkenal karena theme song-nya yang begitu catchy di telinga masyarakat, sekaligus munculnya meme-meme tentang Mixue yang beredar di internet, sukses mengundang rasa penasaran banyak orang untuk mencoba produk es krim tersebut.
Tidak ada ukuran pasti untuk menentukan bagaimana membuat suatu merek dapat menjadi viral. Namun menurut Jonah Berger dalam bukunya ¨Contagious: Why Things Catch On¨ menjelaskan alasan sosiologis mengapa suatu hal dapat menjadi populer, antara lain:
- Social Currency, wujudnya berupa informasi yang menyebar dari mulut ke mulut, dan ini sangat berpotensi untuk viral;
- Trigger, apabila sesuatu yang dihadirkan mudah diingat maka sesuatu tersebut lebih mudah ¨mewabah¨ di suatu lingkungan;
- Emotion, ide-ide yang mampu menarik emosi masyarakat cenderung lebih berkesan, dan hal ini dapat kita temui pada drama-drama Korea yang mampu menarik variasi sentimen penonton seperti rasa sedih, senang, terbawa perasaan, dan lain sebagainya;
- Public, hal ini lebih kearah peniruan/penginspirasian orang lain, contohnya seperti para influencer yang menjadi panutan para followers-nya;
- Practical Value, seperti konten-konten yang menampilkan tips yang berdaya guna, maka orang-orang akan senang untuk menyaksikannya;
- Stories, ide yang memiliki narasinya sendiri dan mampu membuat efek penasaran, maka ide tersebut sukses menarik minat orang-orang.
Permasalahan merek yang menyinggung ketabuan ini merupakan masalah serius yang harus diatasi sebelum masalah ini menjadi masalah sosial yang lebih besar, di mana pelanggaran norma dalam membuat suatu merek dagang menjadi hal yang lumrah dalam masyarakat, dan peraturan yang berlaku hanyalah sebatas tumpukan kertas tanpa pengaruh.Â
Perlu kejelian dalam berpikir dari para stakeholder, karena terkadang oknum pelaku usaha menciptakan merek yang terlihat dan/atau terdengar ambigu. Apabila kita menilai merek bermakna ambigu tersebut sebagai sesuatu yang ¨jorok¨, sering kali mereka akan balik menyalahkan kita.
Bagi Kementerian Hukum dan HAM (c.q. Dirjen HKI) ketika memperoleh permohonan pendaftaran merek, proses mengkritisi simbol visual dan penamaan merek dagang menjadi penting untuk dilakukan sebelum merek tersebut beredar di masyarakat, dan diperlukan pengetahuan akan hubungan antara istilah-istilah tertulis maupun visual terkini dengan kecenderungan yang sering diekspresikan, terutama di kalangan anak muda.Â
Informasi mengenai istilah-istilah kekinian sering kali ditemukan melalui gambar-gambar maupun video-video meme yang beredar di media sosial. Namun terkadang oknum pelaku usaha sering menyamarkannya dengan menerjemahkan suatu kata dan/atau kalimat yang terdengar tabu ke dalam bahasa asing non-inggris agar tidak terlalu jelas ketabuannya.
Secara sosiologis, fenomena merek nyeleneh ini mencerminkan kreativitas dalam branding, sekaligus menunjukkan jenis budaya dan bahasa seperti apa yang digemari oleh pelaku bisnis terkait.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H