Dalam berbagai penafsiran yang berorientasi pada materi-finansial, negara wajib memfasilitasi sekaligus mendukung masyarakat di dalamnya untuk dapat menghidupi diri agar mencapai kesejahteraan, salah satunya dengan membuka akses untuk berbisnis.Â
Dalam berbisnis tentu ada aturan-aturan yang harus diperhatikan para pelaku usaha, seperti jenis barang yang diperdagangkan, metode penjualan yang tidak merusak iklim bisnis dalam negeri, sampai penentuan merek yang ditampilkan sebagai identitas bisnisnya.
Penentuan merek dagang merupakan perkara konvensional di samping membuat dan/atau menjajakan produk yang dijualnya. Simbol grafis dan/atau nama yang dibuat untuk merek biasanya dipilih yang terlihat dan/atau terdengar sederhana namun berkesan dan mudah dikenal di benak masyarakat.Â
Tahap ini bukanlah pekerjaan yang mudah, karena dibutuhkan riset mendalam terhadap perilaku konsumen demi terciptanya merek yang diharapkan. Akhir-akhir ini kita sering melihat merek-merek  yang terdengar tabu, baik itu merek yang terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM (c.q. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual/Dirjen HKI), maupun yang tidak terdaftar, dan fenomena ini mayoritas terjadi pada bisnis jajanan/makanan.Â
Bahkan kata-kata tabu tersebut acap kali dibuat samar, maupun diterjemahkan ke dalam bahasa asing non-Inggris agar konotasi buruk dari kata yang dimaksud tersembunyikan. Tentu kita akan merasa tidak nyaman apabila anak maupun keponakan kita menyebut merek tersebut ketika ingin membeli jajanan yang dimaksud.
Dalam suatu masyarakat terdapat nilai dan norma tertentu yang harus dipatuhi, yang apabila dilanggar maka pelanggar tersebut akan memperoleh sanksi sosial, dan sanksi sosial memiliki efek hukuman yang cukup ¨intimidatif¨.Â
Bagi seseorang yang memiliki moralitas dan cenderung patuh akan nilai dan norma yang berlaku tentu akan merasa tidak nyaman dalam hatinya untuk berucap maupun bertindak sesuatu yang dilarang, namun bagi seseorang yang bersifat ¨liberal¨ batasan norma yang ditentukan masyarakat terkadang merupakan kekangan dalam berekspresi.Â
Ketika batasan norma ini mulai didobrak dan masyarakat mulai memaklumi hal-hal yang awalnya dilarang menjadi sesuatu yang normal, bagi seorang ¨liberal¨ tersebut terdapat perasaan nyaman yang, dalam psikologi, ada kaitannya dengan konsep katarsis, di mana pelepasan ketegangan emosional atau tekanan batin melalui tindakan tertentu seperti melanggar norma atau aturan, dapat menimbulkan perasaan lega, bahkan euforia.
Dalam beberapa penelitian disimpulkan bahwa perasaan senang dapat memperkuat daya ingat. Ketika seseorang berada pada kondisi gembira, tubuh akan mengeluarkan hormon dopamin dan serotonin, yaitu zat kimia yang berfungsi sebagai neurotransmitter, yang kemudian difungsikan untuk mengirim pesan antar sel saraf di otak.Â
Di samping itu pula, ujaran yang dianggap tabu sering kali memicu reaksi emosional yang kuat, seperti kejutan, tawa, atau bahkan rasa tidak nyaman. Emosi yang kuat ini juga turut berperan dalam memperkuat memori, membuat informasi tersebut lebih mudah diingat. Kekhususan inilah yang membuat ujaran tabu lebih menonjol dan mudah diingat. Dalam psikologi terdapat konsep yang disebut Von Restorff Effect, di mana sesuatu yang berbeda dari yang lain dalam suatu himpunan lebih mudah untuk diingat.
Beberapa riset spesifik yang tertuang dalam jurnal di laman situs National Center For Biotechnology Information berjudul ¨The Influence of Emotion on Learning and Memory¨ (www.ncbi.nlm.nih.gov), serta buku berjudul "Memory and Emotion" yang ditulis oleh pakar neurolog, James L. McGaugh, menunjukkan bahwa emosi memainkan peran penting dalam perekaman kognitif.Â