Penelitian lain seperti yang dilakukan oleh Timothy Jay, pakar psikolinguistik, mengkaji bagaimana kata-kata tabu lebih mudah diingat. Jay berpendapat bahwa kata-kata yang dianggap tabu sering kali memiliki asosiasi kuat dengan pengalaman pribadi atau sosial yang emosional. Secara keseluruhan, keterikatan emosional, pelanggaran norma, dan kekhususan merupakan faktor utama yang membuat ujaran-ujaran menyinggung kesusilaan lebih mudah diingat dibandingkan dengan ujaran yang lebih netral atau edukatif.
Frame Of Reference Sosiologi dalam Memandang Merek Kekinian
Merek dagang dapat menjadi viral karena faktor produk yang dihasilkan dapat diterima masyarakat, karena arus tren yang dilakukan segelintir orang yang kemudian diikuti oleh masyarakat banyak, maupun karena sensasi yang ditampilkan.Â
Sebagaimana fenomena es krim Mixue 2 (dua) tahun lalu yang terkenal karena theme song-nya yang begitu catchy di telinga masyarakat, sekaligus munculnya meme-meme tentang Mixue yang beredar di internet, sukses mengundang rasa penasaran banyak orang untuk mencoba produk es krim tersebut.
Tidak ada ukuran pasti untuk menentukan bagaimana membuat suatu merek dapat menjadi viral. Namun menurut Jonah Berger dalam bukunya ¨Contagious: Why Things Catch On¨ menjelaskan alasan sosiologis mengapa suatu hal dapat menjadi populer, antara lain:
- Social Currency, wujudnya berupa informasi yang menyebar dari mulut ke mulut, dan ini sangat berpotensi untuk viral;
- Trigger, apabila sesuatu yang dihadirkan mudah diingat maka sesuatu tersebut lebih mudah ¨mewabah¨ di suatu lingkungan;
- Emotion, ide-ide yang mampu menarik emosi masyarakat cenderung lebih berkesan, dan hal ini dapat kita temui pada drama-drama Korea yang mampu menarik variasi sentimen penonton seperti rasa sedih, senang, terbawa perasaan, dan lain sebagainya;
- Public, hal ini lebih kearah peniruan/penginspirasian orang lain, contohnya seperti para influencer yang menjadi panutan para followers-nya;
- Practical Value, seperti konten-konten yang menampilkan tips yang berdaya guna, maka orang-orang akan senang untuk menyaksikannya;
- Stories, ide yang memiliki narasinya sendiri dan mampu membuat efek penasaran, maka ide tersebut sukses menarik minat orang-orang.
Permasalahan merek yang menyinggung ketabuan ini merupakan masalah serius yang harus diatasi sebelum masalah ini menjadi masalah sosial yang lebih besar, di mana pelanggaran norma dalam membuat suatu merek dagang menjadi hal yang lumrah dalam masyarakat, dan peraturan yang berlaku hanyalah sebatas tumpukan kertas tanpa pengaruh.Â
Perlu kejelian dalam berpikir dari para stakeholder, karena terkadang oknum pelaku usaha menciptakan merek yang terlihat dan/atau terdengar ambigu. Apabila kita menilai merek bermakna ambigu tersebut sebagai sesuatu yang ¨jorok¨, sering kali mereka akan balik menyalahkan kita.
Bagi Kementerian Hukum dan HAM (c.q. Dirjen HKI) ketika memperoleh permohonan pendaftaran merek, proses mengkritisi simbol visual dan penamaan merek dagang menjadi penting untuk dilakukan sebelum merek tersebut beredar di masyarakat, dan diperlukan pengetahuan akan hubungan antara istilah-istilah tertulis maupun visual terkini dengan kecenderungan yang sering diekspresikan, terutama di kalangan anak muda.Â
Informasi mengenai istilah-istilah kekinian sering kali ditemukan melalui gambar-gambar maupun video-video meme yang beredar di media sosial. Namun terkadang oknum pelaku usaha sering menyamarkannya dengan menerjemahkan suatu kata dan/atau kalimat yang terdengar tabu ke dalam bahasa asing non-inggris agar tidak terlalu jelas ketabuannya.
Secara sosiologis, fenomena merek nyeleneh ini mencerminkan kreativitas dalam branding, sekaligus menunjukkan jenis budaya dan bahasa seperti apa yang digemari oleh pelaku bisnis terkait.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H