Mohon tunggu...
Yudi Zulfahri
Yudi Zulfahri Mohon Tunggu... Dosen - Direktur Eksekutif Jalin Perdamaian

Master Kajian Ketahanan Nasional, Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nikmat Tuhan Itu Bernama Indonesia

17 Agustus 2019   12:21 Diperbarui: 17 Agustus 2019   12:36 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Manusia dilahirkan bebas, namun dimana-mana ia terbelenggu".

Kutipan diatas merupakan perkataan seorang filsuf ternama Perancis, Jean-Jacques Rousseau, di dalam bukunya yang terkenal Du Contract Social. Apa yang diungkapkan oleh Rousseau merupakan gambaran dari kondisi alami manusia. Secara alami, meskipun terlahir dalam keadaan merdeka dan memiliki hak asasi yang sama, namun sejak kelahirannya manusia telah terikat oleh berbagai aturan yang telah ada, baik kepada aturan keluarga, atau terutama kepada aturan negara yang terus mengikat sepanjang usia hidup kita.

Manusia dan Negara

Jika manusia dibiarkan berpikir secara liar, tentu setiap diri kita akan bertanya, mengapa seumur hidup kita harus berada dibawah belenggu aturan negara? Padahal terhadap orang tua yang telah melahirkan, mengurus, menafkahi, dan membesarkan diri kita saja, kita tidak dituntut harus tunduk kepada aturan mereka seumur hidup kita.

Menurut Ibnu Khaldun, di dalam bukunya Muqaddimah, adanya organisasi kemasyarakatan atau negara merupakan sebuah keharusan bagi umat manusia. Keharusan adanya negara bagi manusia ini diterangkan oleh kenyataan bahwa Tuhan menciptakan dan menyusun manusia itu menurut satu bentuk, yaitu hanya dapat tumbuh dan mempertahankan hidupnya dengan bantuan makanan.

Adalah diluar kemampuan manusia untuk dapat mencukupi kebutuhan makanannya hanya dengan sendirian saja. Oleh karena itu, setiap individu manusia membutuhkan bantuan tangan manusia lainnya dan harus bekerja sama untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Sementara itu kerjasama diantara sesama manusia tidak akan dapat berjalan tanpa adanya organisasi yang mengaturnya.

Disamping itu, manusia membutuhkan bantuan dari orang lain untuk memperoleh perlindungan terhadap dirinya. Karena manusia hidup selalu berada dibawah ancaman berbagai serangan, baik oleh serangan binatang-binatang buas, ataupun oleh serangan dari sesama bangsa manusia lainnya. Oleh karena itu, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa tanpa adanya organisasi kemasyarakatan atau negara, eksistensi manusia di atas muka bumi ini tidak akan sempurna.

Urgensi Negara

Pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun bukanlah sebuah isapan jempol belaka. Bukti atas kebenaran akan hal ini dapat kita saksikan secara kasat mata. Lihat saja bagaimana rakyat Suriah yang terombang ambing di tenda-tenda pengungsian karena negara mereka hancur akibat konflik senjata yang berkepanjangan. Lihat pula bagaimana jutaan rakyat Venezuela yang mengungsi ke negara-negara tetangga karena negara mereka tidak dapat lagi mencukupi kebutuhan makanan akibat instabilitas politik yang berujung pada lemahnya pertahanan negara dari intervensi negara-negara adidaya.

Untuk itu, setiap masyarakat Indonesia selayaknya bersyukur atas stabilitas dan perdamaian yang sampai hari ini masih terwujud di negara kita, Republik Indonesia. Lihatlah bagaimana penderitaan etnis Rohingya yang terapung-apung di tengah lautan akibat terusir dari negaranya sendiri. Lihat pula bagaimana penderitaan rakyat Gaza yang tidak pernah berhenti mengalami berbagai serangan dan blokade dari negara penjajah, Israel.

Pesona Negara Republik Indonesia

Sudah sepatutnya kita bersyukur atas hadirnya negara Republik Indonesia yang begitu indah dan kaya, baik secara alam maupun secara budaya. Indonesia memiliki bahan tambang dan mineral yang begitu besar. Indonesia juga memiliki bentangan laut dan hutan yang begitu luas, dengan pesona alam dan panorama wisata yang begitu indah menyejukkan mata.

Dari Sabang sampai Merauke, sampai hari ini kita masih bisa berpergian dengan bebas untuk menikmati berbagai keindahan alam ciptaan Tuhan. Belum lagi jika kita berbicara ragam macam kebudayaan dari ratusan etnis yang ada di Indonesia, berikut dengan berbagai macam menu kuliner khas dari masing-masing daerah di seluruh penjuru nusantara.

Secara astronomis, Indonesia merupakan negara beriklim tropis. Sehingga kita sebagai rakyat Indonesia tidak perlu merasakan cuaca panas dan tandus seperti di Timur Tengah dan Afrika, juga tidak perlu menghadapi musim dingin yang dapat melumpuhkan berbagai aktifitas seperti di Eropa dan sebagian Asia.

Tanah Indonesia begitu subur, sehingga apapun yang ditanam akan menjadi tumbuhan yang bisa berfungsi sebagai sumber bahan makanan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika bagi bangsa-bangsa lain di dunia, Indonesia diibaratkan bagai sekeping tanah surga yang dilemparkan ke dunia.

Indonesia, Nikmat Tuhan yang Didustakan

Indonesia adalah nikmat Tuhan yang tidak dapat terbantahkan. Dengan segala potensi dan kekayaan yang dimiliki, Indonesia seharusnya sudah menjadi negara besar. Dengan menjadi negara besar, Indonesia tidak saja bisa mensejahterakan rakyatnya, namun juga bisa menghadirkan perdamaian ke berbagai penjuru dunia sebagaimana cita-cita dari para pendiri bangsa.

Namun sangat disayangkan, nikmat Tuhan yang begitu besar ini masih saja terus didustakan. Para pejabat dan birokrat masih begitu banyak yang terlibat dalam praktik korupsi, sehingga mengakibatkan kekayaan alam Indonesia dieksploitasi oleh bangsa asing, laju pertumbuhan ekonomi menjadi terhambat,  dan angka kemiskinan masih begitu tinggi. Aparat penegak hukum juga masih sering bersikap tebang pilih, sehingga memunculkan rasa ketidakadilan di benak masyarakat. Belum lagi para tokoh dan orang-orang berpengaruh yang masih terus melakukan politisasi dan pembenturan ideologi, sehingga masyarakat Indonesia kini terbelah ke dalam dua kelompok idenitas yang saling bermusuhan dan memecah belah persatuan.

"Meramal" Nasib Indonesia ke Depan

Sejauh ini ada dua pendapat yang muncul untuk "meramal" bagaimana nasib Indonesia ke depan. Pendapat pertama mengatakan bahwa pada tahun 2045 Indonesia akan menjadi 5 besar kekuatan dunia bersama Tiongkok, Amerika, India, dan Jepang. Sementara itu pendapat kedua mengatakan bahwa pada tahun 2030 Indonesia akan musnah dari peta dunia.

Menurut Mahfud MD, pendapat yang mengatakan bahwa Indonesia akan menjadi negara maju pada tahun 2045 merupakan pendapat yang sudah berdasarkan perhitungan ilmiah dan bisa dipertanggungjawabkan. Namun meskipun demikian, pendapat yang mengatakan bahwa Indonesia akan bubar pada tahun 2030 juga harus diperhatiikan. Menurutnya, Indonesia memang bisa saja bubar kalau hukum dan keadilan tidak ditegakkan.

Pendapat bahwa Indonesia akan bubar pada tahun 2030 didasarkan pada analisa masa depan dunia yang ditulis oleh P.W. Singer di dalam buku fiksi ilmiah yang berjudul Ghost Fleet. Singer merupakan seorang ahli ilmu politik luar negeri yang mendapatkan gelar PhD dari Harvard University. Karena yang menulis merupakan seorang yang sangat ahli, buku ini bahkan menjadi perhatian serius petinggi militer di Amerika Serikat.

Kita semua tentu berharap Indonesia ke depan akan menjadi negara besar dan maju, karena itulah posisi Indonesia seharusnya jika melihat pada potensi dan kekayaan yang kita miliki. Namun demikian, Indonesia memang bisa saja benar-benar bubar. Pada tahun 1980-an, Uni Soviet dan Yugoslavia pernah menjadi kekuatan besar dunia, dan tidak ada yang menyangka jika 10 tahun kemudian kedua negara besar tersebut hilang dari peta dunia. Apalagi pada tahun 2009 pernah mencuat isu tentang adanya upaya kekuatan global yang ingin melakukan Balkanisasi terhadap Indonesia, dimana skenario yang akan dimainkan yaitu dengan memecah Indonesia menjadi 8 negara.

Faktor Kunci Penentu Nasib Indonesia

Di dalam buku Muqaddimah, Ibnu Khaldun mengembangkan sebuah teori mengenai metamorfosis pembentukan sebuah negara, masa kejayaan, serta keruntuhannya. Teori ini dinamakan Teori Ashabiyah. Ashabiyah berarti solidaritas sosial, atau dalam konteks kehidupan bernegara bisa diartikan sebagai persatuan dan kesatuan bangsa.

Menurut Ibnu Khaldun, maju-mundurnya sebuah negara bukan disebabkan oleh keberhasilan  atau kegagalan sang penguasa, bukan pula akibat peristiwa kebetulan atau takdir semata. Ibnu Khaldun lebih menekankan bahwa aspek ashabiyah atau persatuan dan kesatuan bangsa yang lebih berperan dalam menentukan arah perubahan sebuah negara.

Ashabiyah yang kuat akan membuat sebuah bangsa memiliki perasaan senasib, sehingga fokus utama mereka adalah terus bekerja sama untuk memajukan peradabannya. Namun menurut Ibnu Khaldun, ashabiyah atau persatuan dan kesatuan bangsa yang kuat hanya dapat diwujudkan pada masyarakat yang memiliki pola hidup sederhana, serta dipenuhi dengan nilai-nilai dan norma.

Adapun sebuah bangsa yang masyarakatnya sudah disibukkan dengan kehidupan mewah dan tunduk terlena dengan buaian hawa nafsu yang menyebabkan mereka berada dalam keburukan akhlak, dimana hati mereka tertutup untuk mendapatkan kebaikan, sehingga mereka terbiasa untuk melakukan berbagai pelanggaran nilai dan norma, akan mengakibatkan lemahnya rasa persatuan dan kesatuan.

Persatuan dan kesatuan bangsa yang lemah akan menyebabkan terciptanya masyarakat impersonal atau masyarakat dengan tingkat kehidupan individualistik, dimana setiap individu masyarakat hanya berpikir dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan pribadinya, tanpa menghiraukan yang lainnya. Menurut Ibnu Khladun, pada tahap ini sebuah negara sudah berada diambang kehancuran karena diisi oleh generasi yang tidak lagi memiliki hubungan emosional dengan negaranya.

Jika kita perhatikan, apa yang dipaparkan oleh Ibnu Khaldun mengenai maju dan mundurnya sebuah negara melalui teori ashabiyah-nya, secara keseluruhan selaras dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila. Artinya, kita dapat menarik kesimpulan bahwa faktor yang menjadi kunci penentu bagi nasib Indonesia ke depan adalah sejauh mana bangsa Indonesia mampu menghadirkan generasi-generasi Pancasila.

Generasi Pancasila adalah generasi yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, senantiasa memegang ajaran-ajaran agama, dan memiliki pola hidup sederhana.

Generasi Pancasila adalah generasi yang berakhlak mulia, memiliki adab dan moral yang tinggi, dan selalu memegang prinsip adil dalam kehidupannya.

Generasi Pancasila adalah generasi yang terus merawat dan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, terus berusaha memajukan peradaban, bersikap toleran atas perbedaan, dan menyebarkan kasih sayang terhadap sesama.

Generasi Pancasila adalah generasi yang selalu mengedepankan musyawarah dalam menyelesaikan masalah, tidak suka melakukan provokasi, apalagi merasa paling benar sendiri.

Generasi Pancasila adalah generasi yang memiliki rasa sosial dan tingkat kepedulian yang tinggi terhadap kondisi masyarakat sekitarnya.

Semoga di usia negara Republik Indonesia yang sudah menginjak 74 tahun pada hari ini, menjadi momentum yang tepat bagi segenap bangsa Indonesia untuk melakukan refleksi, membenahi diri terhadap berbagai persoalan yang selama ini menjadi penghambat bagi kemajuan, atau persoalan yang melemahkan persatuan dan kesatuan. Agar kita dapat bersyukur dengan maksimal atas hadirnya Indonesia, nikmat Tuhan yang tidak dapat terbantahkan.

"Maka nikmat Tuhan-mu yang manakah lagi yang kamu dustakan?". (Qs. Ar-Rahman)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun