Pendapat bahwa Indonesia akan bubar pada tahun 2030 didasarkan pada analisa masa depan dunia yang ditulis oleh P.W. Singer di dalam buku fiksi ilmiah yang berjudul Ghost Fleet. Singer merupakan seorang ahli ilmu politik luar negeri yang mendapatkan gelar PhD dari Harvard University. Karena yang menulis merupakan seorang yang sangat ahli, buku ini bahkan menjadi perhatian serius petinggi militer di Amerika Serikat.
Kita semua tentu berharap Indonesia ke depan akan menjadi negara besar dan maju, karena itulah posisi Indonesia seharusnya jika melihat pada potensi dan kekayaan yang kita miliki. Namun demikian, Indonesia memang bisa saja benar-benar bubar. Pada tahun 1980-an, Uni Soviet dan Yugoslavia pernah menjadi kekuatan besar dunia, dan tidak ada yang menyangka jika 10 tahun kemudian kedua negara besar tersebut hilang dari peta dunia. Apalagi pada tahun 2009 pernah mencuat isu tentang adanya upaya kekuatan global yang ingin melakukan Balkanisasi terhadap Indonesia, dimana skenario yang akan dimainkan yaitu dengan memecah Indonesia menjadi 8 negara.
Faktor Kunci Penentu Nasib Indonesia
Di dalam buku Muqaddimah, Ibnu Khaldun mengembangkan sebuah teori mengenai metamorfosis pembentukan sebuah negara, masa kejayaan, serta keruntuhannya. Teori ini dinamakan Teori Ashabiyah. Ashabiyah berarti solidaritas sosial, atau dalam konteks kehidupan bernegara bisa diartikan sebagai persatuan dan kesatuan bangsa.
Menurut Ibnu Khaldun, maju-mundurnya sebuah negara bukan disebabkan oleh keberhasilan  atau kegagalan sang penguasa, bukan pula akibat peristiwa kebetulan atau takdir semata. Ibnu Khaldun lebih menekankan bahwa aspek ashabiyah atau persatuan dan kesatuan bangsa yang lebih berperan dalam menentukan arah perubahan sebuah negara.
Ashabiyah yang kuat akan membuat sebuah bangsa memiliki perasaan senasib, sehingga fokus utama mereka adalah terus bekerja sama untuk memajukan peradabannya. Namun menurut Ibnu Khaldun, ashabiyah atau persatuan dan kesatuan bangsa yang kuat hanya dapat diwujudkan pada masyarakat yang memiliki pola hidup sederhana, serta dipenuhi dengan nilai-nilai dan norma.
Adapun sebuah bangsa yang masyarakatnya sudah disibukkan dengan kehidupan mewah dan tunduk terlena dengan buaian hawa nafsu yang menyebabkan mereka berada dalam keburukan akhlak, dimana hati mereka tertutup untuk mendapatkan kebaikan, sehingga mereka terbiasa untuk melakukan berbagai pelanggaran nilai dan norma, akan mengakibatkan lemahnya rasa persatuan dan kesatuan.
Persatuan dan kesatuan bangsa yang lemah akan menyebabkan terciptanya masyarakat impersonal atau masyarakat dengan tingkat kehidupan individualistik, dimana setiap individu masyarakat hanya berpikir dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan pribadinya, tanpa menghiraukan yang lainnya. Menurut Ibnu Khladun, pada tahap ini sebuah negara sudah berada diambang kehancuran karena diisi oleh generasi yang tidak lagi memiliki hubungan emosional dengan negaranya.
Jika kita perhatikan, apa yang dipaparkan oleh Ibnu Khaldun mengenai maju dan mundurnya sebuah negara melalui teori ashabiyah-nya, secara keseluruhan selaras dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila. Artinya, kita dapat menarik kesimpulan bahwa faktor yang menjadi kunci penentu bagi nasib Indonesia ke depan adalah sejauh mana bangsa Indonesia mampu menghadirkan generasi-generasi Pancasila.
Generasi Pancasila adalah generasi yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, senantiasa memegang ajaran-ajaran agama, dan memiliki pola hidup sederhana.
Generasi Pancasila adalah generasi yang berakhlak mulia, memiliki adab dan moral yang tinggi, dan selalu memegang prinsip adil dalam kehidupannya.