Berdasarkan sejarah panjang konflik yang terjadi di Yugoslavia dan Bosnia, jika melihat kepada kondisi demografi Indonesia yang terdiri dari ratusan etnis dan enam agama, juga kondisi geografi Indonesia yang memiliki bentangan ribuan pulau yang tersebar luas, potensi negara Indonesia untuk terpecah dan timbul konflik kekerasan antar etnis dan pemeluk agama tentu jauh lebih besar.
Perjalanan sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia sendiri telah menunjukkan bukti akan hal ini. Pada awal masa kemerdekaan, Indonesia pernah disibukkan oleh banyaknya pemberontakan yang muncul di berbagai daerah yang ingin memisahkan diri. Namun bukti terkuat tentu saja lepasnya propinsi Timor-Timur pasca era reformasi yang kini telah berhasil mendirikan negara sendiri.
Sementara itu, konflik antar etnis dan agama juga pernah terjadi beberapa kali di Indonesia. Sebut saja misalnya konflik antara penduduk pribumi dan etnis Tionghoa pada tahun 1998, konflik antara pemeluk agama Islam dan Kristen di Ambon pada tahun 1999 dan di Poso pada tahun 2004, serta konflik antara suku Dayak dan Madura di Sampit pada tahun 2001. Bahkan gerakan separatis yang ada di Aceh dan Papua juga sebenarnya tidak terlepas dari sentimen antar etnis. Â
Beruntungnya, konflik antar etnis dan pemeluk agama yang terjadi di Indonesia hanya bersifat kedaerahan sehingga tidak meluas dalam skala nasional.Â
Padahal dalam tragedi konflik antar pemeluk agama Islam dan Kristen yang terjadi di Ambon dan Poso, ada pihak yang berupaya untuk memperluas konflik ini dalam skala nasional seperti yang dilakukan oleh kelompok Jamaah Islamiyah dengan melakukan aksi pengeboman gereja di berbagai daerah pada tahun 2000 yang lalu.
Bahkan konspirasi untuk memecah belah NKRI tidak hanya muncul dari dalam saja. Pada tahun 2009 yang lalu, tabloid Intelijen pernah mengangkat isu tentang adanya upaya Balkanisasi yang dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat terhadap Indonesia, yang diawali dari Aceh dan Papua.Â
Wawan Purwanto, staf ahli Wakil Presiden pada waktu itu, ikut memberikan konfirmasi terkait isu ini. Situs berita Republika Online juga pernah mengangkat isu ini dalam sebuah laporan yang dirilis pada tanggal 23 Mei 2013 dengan judul "Intelijen Asing Bidik Aceh dan Papua".Â
Namun dari seluruh catatan sejarah di Indonesia mengenai berbagai konflik yang terjadi dan adanya upaya-upaya untuk memisahkan diri dari NKRI, situasi genting yang dialami oleh Indonesia justru terjadi pada saat ini.Â
Sebabnya adalah karena sejak tahun 2016 muncul praktik politik identitas yang dibarengi dengan berbagai perhelatan kontestasi politik. Situasi ini telah membelah masyarakat Indonesia ke dalam dua kelompok identitas besar yang saling bermusuhan dalam skala nasional.
Situasi genting ini bisa kita rasakan dalam kontestasi pemilu 2019 yang baru saja dilangsungkan. Contohnya ketika terjadi demonstrasi untuk menolak hasil pemilu pada tanggal 21-22 Mei 2019 yang lalu, Kepolisian Republik Indonesia merilis adanya berbagai upaya makar dan rencana pembunuhan terhadap beberapa pejabat negara untuk mengambil alih pemerintahan. Demonstrasi itu sendiri berakhir ricuh dan mengakibatkan jatuhnya beberapa korban meninggal dunia serta ratusan lainnya luka-luka.
Contoh lainnya yaitu ketika mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka, Muzakkir Manaf, melontarkan wacana referendum bagi propinsi Aceh akibat kekecewaan atas proses dan hasil Pemilu 2019. Meskipun hanya sebatas tataran wacana, ide referendum Aceh ini tidak hanya disambut oleh sebagian besar masyarakat Aceh semata, namun juga didukung oleh masyarakat di seluruh wilayah Indonesia yang juga merasa kecewa terhadap proses dan hasil pemilu 2019.