Mohon tunggu...
Yudistira Putra
Yudistira Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga

Seorang mahasiswa dengan minat tinggi dalam hal filsafat, musik, dunia medis, dan segala macam paradigma sosial-budaya yang menggatalkan telapak kaki peradaban kita.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Agus Salim: Dedengkot Diplomasi Indonesia

21 Oktober 2024   13:44 Diperbarui: 21 Oktober 2024   14:09 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

PERIHAL DIPLOMASI

Frasa "perjuangan kemerdekaan Indonesia" kerap kali memunculkan kata-kata seperti senjata api, bambu runcing, dan tumpah darah di benak orang-orang. Dalam kata lain, perihal pertempuran fisik acap kali terucap dahulu sebagai pilar utama dalam perjuangan kemerdekaan negara kita.

Namun, ada pula aspek yang tidak kalah penting daripada pertempuran fisik, yaitu pertempuran secara nonfisik, atau yang sering kita sebut dengan istilah "diplomasi".

Diplomasi, atau seni diplomasi, merupakan salah satu dari berbagai batu penjuru yang menyokong keberhasilan suatu negara. Bahkan, konon, Tony Benn, seorang mantan anggota parlemen dari Inggris Raya, pernah berkata bahwa seluruh peperangan mewakili kegagalan sebuah aksi diplomasi.

Seseorang yang melakukan diplomasi, biasa disebut sebagai seorang diplomat, dan ketika kita membicarakan soal diplomat, merupakan sebuah kekeliruan besar apabila kita tidak menyebutkan asma "Haji Agus Salim", dedengkot legendaris diplomasi Indonesia.


BIOGRAFI HAJI AGUS SALIM

Haji Agus Salim adalah seorang pahlawan nasional yang memiliki nama asli Masyhudul Haq, atau yang dalam bahasa Indonesia "pembela kebenaran". Pahlawan yang dijuluki "The Grand Old Man" oleh para kolega perjuangannya ini cukup dikenal dengan penguasaannya dalam sesedikit-sedikitnya tujuh bahasa asing. 

Beliau dilahirkan di Kota Gadang, Agam, Sumatera Barat pada tanggal 8 Oktober tahun 1884 dengan nama lahir Masyhudul Haq, artinya adalah pembela kebenaran. Beliau dilahirkan sebagai anak ke-5 dari 15 bersaudara, ayahnya bernama Sultan Moehammad Salim, seorang jaksa dan hakim kolonial di pengadilan negeri Tanjung Pinang. Ibu dari Agus Salim bernama Siti Zaenab. 

Semenjak kecil, Agus Salim sudah menunjukkan tingkat kecerdasan yang luar biasa. Ia mengenyam pendidikannya di Europeesche Lagere School (ELS), sebuah sekolah dasar yang dibangun khusus untuk anak-anak orang terkemuka -- ayah dari Agus Salim. 

Ia melanjutkan pendidikannya di sekolah elit Hoogere Burger School (HBS) Koning Willem III, dan dalam situasi pendidikan yang di mana dia juga berkompetisi dengan orang Belanda, Eropa, dan Tionghoa, Beliau dapat lulus dengan predikat "lulusan terbaik" di kota Surabaya, Semarang, dan Jakarta.

Adapun lokasi di mana HBS dulu berada ditempati oleh SMA kompleks Surabaya (SMAN 1, SMAN 2, SMAN 5, dan SMAN 9).

Dengan prestasi tersebut, Agus Salim sebenarnya berharap untuk bisa mendapatkan beasiswa di Belanda untuk melanjutkan cita-citanya sebagai dokter. Namun, hal tersebut tidak terkabulkan dikarenakan darahnya yang bukan merupakan keturunan Jawa.

Sebenarnya, R.A. Kartini pada saat itu hendak memberikan penawaran untuk mengalihkan beasiswa yang dimiliki oleh R.A. Kartini kepada Agus Salim. Namun, meskipun juga sudah disetujui oleh pemerintah, Agus Salim menolak keras beasiswa tersebut dengan alasan bahwa Beliau tidak ingin beasiswa yang diberikan secara cuma-cuma dan tidak berasal dari kecerdasannya. Ia juga tidak menyukai diskriminasi yang dihadapkan di depannya sebagai alasan mengapa Beliau tidak dianugerahi beasiswa pada awalnya.

Bertolak dari peristiwa tersebut, Agus Salim memutuskan untuk menggunakan ilmu bahasa yang telah diperolehnya dalam persekolahannya untuk menjadi seorang penerjemah di sebuah pertambangan di Indramayu. Karier yang dirintisnya ini lambat laun menjadi sesuatu yang lebih besar, hingga akhirnya dia memutuskan untuk pergi ke Jeddah, Saudi Arabia, untuk menjadi seorang penerjemah di konsulat Belanda di Arab. Di sanalah ia banyak belajar mengenai diplomasi dan agama dari Syekh Ahmad Khatib, imam Masjidil Haram, pamannya.

Ia kembali ke Hindia Belanda pada 1911 dan karena merasakan keresahan atas tidak layaknya standar pendidikan untuk orang-orang pribumi, Agus Salim mendirikan sebuah sekolah yang bernama Hollandsche Indlandsche School (HIS). 

AGUS SALIM DAN JURNALISME

Semenjak tahun 1915, Agus salim mulai menapakkan kakinya di dunia jurnalisme. Ia mengawalinya dengan menjadi seorang redaktur di Harian Neratja. Posisi ini ia manfaatkan untuk menyebarkan kabar perihal pergerakan masyarakat, hal ini dapat dilakukan untuk mendongkrak moral dan rasa semangat rakyat Indonesia. Performanya yang luar biasa membuatnya diangkat menjadi ketua redaksi.

Uniknya, Agus Salim sempat dituduh sebagai seorang pengkhianat dan antek-antek dari pemerintah Hindia Belanda karena menjadi seorang sosok yang cukup berperan dalam Harian Neratja. Hal ini disebabkan oleh keterkaitan dari Harian Neratja dengan Gubernur Jenderal Johan Paul van Limburg Stirum pada tahun 1917. 

Namun, Agus Salim membantah klaim ini tidak melalui kata-kata, namun melalui perbuatan. Pada 1918, surat kabar Harian Neratja menjadi salah satu media yang cukup keras dalam mengkritik penjajah Belanda.

Tidak puas dengan performanya, ia melanjutkan kariernya, sebagai ketua Harian Hindia Baroe, redaktur Harian Moestika di Yogyakarta, dan juga mendirikan surat kabar Fadjar Asia.


AGUS SALIM DAN PERANNYA DALAM KEMERDEKAAN
Agus Salim turut serta dalam pergerakan nasional dengan cara memasuki Volksraad dan SI. Pada saat itu, pemerintahan Hindia Belanda mendirikan sebuah lembaga yang bertujuan untuk mewakili rakyat, dewan itu dikenal sebagai Volksraad yang secara harfiah berarti 'wakil rakyat'.

H.O.S Tjokroaminoto pada saat itu menjabat sebagai seorang perwakilan di Volksraad pada tahun 1917. Akan tetapi, atas dasar kekecewaan dan ketidakbergunaan dari Volksraad menurut Beliau, ia keluar dari organisasi tersebut dan digantikan oleh Agus Salim.


Lucunya, Agus Salim juga merasakan kekecewaan yang sama ketika menggantikan H.O.S Tjokroaminoto mulai 1921-1924 sebagai wakil rakyat sehingga ia memutuskan untuk keluar dan berfokus kepada Sarekat Islam saja. Namun, saat menjabat dalam Volksraad, ia melakukan beberapa gebrakan yang memberontak terhadap pemerintahan Belanda.

Meskipun awalnya ditugaskan sebagai mata-mata, beliau terpikat dengan idebersama dengan H.O.S. Tjokroaminoto dan Abdul Muis pada tahun 1915. Sebagai anggota Sarekat Islam, Beliau sangat disegani dan seringkali dianggap sebagai tangan kanan dari H.O.S Tjokroaminoto.

Namun, 1923 menandai awal perpecahan dari Sarekat Islam. Pergerakan yang dipimpin oleh Semaun dan rekan-rekannya, seperti Alimin dan Darsono, tergiur kepada janji sosialisme dan menginginkan penyondongan SI ke arah kiri. Agus Salim dan Tjokroaminoto menolak sentimen ini sehingga SI mengalami skisme menjadi dua organisasi dengan proyeksi yang berbeda. Sarekat Islam Merah dengan Semaun sebagai ketuanya dan Sarekat Islam Putih yang diketuai oleh Tjokroaminoto.

Tahun 1930, Beliau mulai memperoleh ketenaran internasional setelah melakukan pidato yang karismatik di Jenewa, Swiss, sebagai pembicara di Konferensi Perubahan Internasional. 

Menjelang kemerdekaan, Agus Salim turut serta dalam membentuk Piagam Jakarta yang nantinya menjadi cikal bakal dari UUD 1945 pada 22 Juni 1945. Selain itu, meskipun dia adalah seorang muslim yang sangat taat dan berilmu, Agus Salim juga termasuk dalam salah satu tokoh utama dalam memperdebatkan butir utama prototipe Pancasila, "ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya." Ia menjunjung tinggi kesetaraan dan kebebasan beragama.

DIPLOMASI

Setelah proklamasi kemerdekaan, Agus Salim turut hadir pula sebagai perwakilan Indonesia dalam Konferensi Antar Asia di Delhi pada Maret 1947. Ia hadir di sana sebagai seorang diplomat, mencari pengakuan kemerdekaan dari negara-negara Asia. 

Diplomasi pengakuan ini dilanjutkan dengan kedatangan Agus Salim ke wilayah-wilayah di Asia, seperti Mesir, Siria, Yaman, Irak, Saudi Arabia, dan negara-negara Islam lainnya demi mencari pengakuan kemerdekaan Indonesia. Hasilnya, negara Mesir menjadi pengaku kemerdekaan Indonesia yang pertama, beserta dengan negara-negara Arab lainnya.

Selain menjadi duta keliling dan diplomat KAA, Haji Agus Salim bersama dengan Sutan Syahrir juga sangat berperan dalam pembentukan Komisi Tiga Negara oleh PBB demi menyelesaikan persengketaan dan konflik Indo-Belanda yang dilatarbelakangi oleh agresi militer I belanda. Rapat dengan dewan keamanan PBB ini adalah kali pertamanya Indonesia diwakilkan di forum tingkat dunia, dan duo tersebut berhasil meyakinkan dewan keamanan PBB untuk membentuk KTN yang terdiri atas Belgia (dengan Paul van Zeeland sebagai perwakilan Belanda), Australia (dengan Richard C. Kirby sebagai perwakilan Indonesia), dan Amerika Serikat (dengan Dr. Frank B. Graham sebagai perwakilan Indonesia dan Belanda [netral]) ini turut serta berperan dalam memerdekakan Indonesia dan memperkuat pernyataan kemerdekaan Indonesia di mata dunia.

PASCAKEMERDEKAAN

Setelah merdeka, Haji Agus Salim masih melanjutkan jurnalismenya. Atas jasa-jasanya, Haji Agus Salim diangkat sebagai Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia pada tahun 1952.

Haji Agus Salim juga menjabat sebagai Menteri Luar Negeri di sejumlah era kabinet, seperti Kabinet Amir Syarifuddin I (3 Juli 1947 -- 11 November 1947), Kabinet Amir Syarifuddin II (11 November 1947 -- 29 Januari 1948), Kabinet Hatta I (29 Januari 1948 -- 4 Agustus 1949), dan Kabinet Hatta II (4 Agustus 1949--20 Desember 1949)

Ia kemudian mengundurkan diri dari dunia politik, namun masih menjabat sebagai seorang Penasihat Menteri Luar Negeri hingga akhir hidupnya.


AKHIR HIDUP DAN PENINGGALAN

Agus Salim sebagai seorang pahlawan nasional meninggal dunia pada 4 November 1954 di Rumah Sakit Umum Jakarta di usia 70 tahun dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. 

Atas segala jasa-jasanya, pada tanggal 27 Desember 1961, Agus Salim dianugerahi gelar Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden RI No. 657 Tahun 1961.

Namanya sekarang dikenang melalui nama jalan di sejumlah tempat di Indonesia dan dijadikan nama sebuah stadium di Padang, Sumatra Barat.

Namun, yang terpenting, Haji Agus Salim mengajarkan kepada kita bahwa peperangan tidak hanya dimenangkan lewat otot saja, namun bahwa terkadang bolpoin lebih tajam daripada pedang. Ia menjadi sebuah teladan bagi diplomat-diplomat di Indonesia, bahwa memang perjuangan dan peperangan itu sangatlah pahit dan getir, namun kemerdekaan itu rasanya manis dan begitu indah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun