Dengan prestasi tersebut, Agus Salim sebenarnya berharap untuk bisa mendapatkan beasiswa di Belanda untuk melanjutkan cita-citanya sebagai dokter. Namun, hal tersebut tidak terkabulkan dikarenakan darahnya yang bukan merupakan keturunan Jawa.
Sebenarnya, R.A. Kartini pada saat itu hendak memberikan penawaran untuk mengalihkan beasiswa yang dimiliki oleh R.A. Kartini kepada Agus Salim. Namun, meskipun juga sudah disetujui oleh pemerintah, Agus Salim menolak keras beasiswa tersebut dengan alasan bahwa Beliau tidak ingin beasiswa yang diberikan secara cuma-cuma dan tidak berasal dari kecerdasannya. Ia juga tidak menyukai diskriminasi yang dihadapkan di depannya sebagai alasan mengapa Beliau tidak dianugerahi beasiswa pada awalnya.
Bertolak dari peristiwa tersebut, Agus Salim memutuskan untuk menggunakan ilmu bahasa yang telah diperolehnya dalam persekolahannya untuk menjadi seorang penerjemah di sebuah pertambangan di Indramayu. Karier yang dirintisnya ini lambat laun menjadi sesuatu yang lebih besar, hingga akhirnya dia memutuskan untuk pergi ke Jeddah, Saudi Arabia, untuk menjadi seorang penerjemah di konsulat Belanda di Arab. Di sanalah ia banyak belajar mengenai diplomasi dan agama dari Syekh Ahmad Khatib, imam Masjidil Haram, pamannya.
Ia kembali ke Hindia Belanda pada 1911 dan karena merasakan keresahan atas tidak layaknya standar pendidikan untuk orang-orang pribumi, Agus Salim mendirikan sebuah sekolah yang bernama Hollandsche Indlandsche School (HIS).Â
AGUS SALIM DAN JURNALISME
Semenjak tahun 1915, Agus salim mulai menapakkan kakinya di dunia jurnalisme. Ia mengawalinya dengan menjadi seorang redaktur di Harian Neratja. Posisi ini ia manfaatkan untuk menyebarkan kabar perihal pergerakan masyarakat, hal ini dapat dilakukan untuk mendongkrak moral dan rasa semangat rakyat Indonesia. Performanya yang luar biasa membuatnya diangkat menjadi ketua redaksi.
Uniknya, Agus Salim sempat dituduh sebagai seorang pengkhianat dan antek-antek dari pemerintah Hindia Belanda karena menjadi seorang sosok yang cukup berperan dalam Harian Neratja. Hal ini disebabkan oleh keterkaitan dari Harian Neratja dengan Gubernur Jenderal Johan Paul van Limburg Stirum pada tahun 1917.Â
Namun, Agus Salim membantah klaim ini tidak melalui kata-kata, namun melalui perbuatan. Pada 1918, surat kabar Harian Neratja menjadi salah satu media yang cukup keras dalam mengkritik penjajah Belanda.
Tidak puas dengan performanya, ia melanjutkan kariernya, sebagai ketua Harian Hindia Baroe, redaktur Harian Moestika di Yogyakarta, dan juga mendirikan surat kabar Fadjar Asia.
AGUS SALIM DAN PERANNYA DALAM KEMERDEKAAN
Agus Salim turut serta dalam pergerakan nasional dengan cara memasuki Volksraad dan SI. Pada saat itu, pemerintahan Hindia Belanda mendirikan sebuah lembaga yang bertujuan untuk mewakili rakyat, dewan itu dikenal sebagai Volksraad yang secara harfiah berarti 'wakil rakyat'.