Mohon tunggu...
Yudistira Pratama
Yudistira Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - Sang Pemimpi(n)

Lantang tanpa suara!

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Nasib Birokrat, Terombang-ambing Gelombang Politik

13 November 2020   06:46 Diperbarui: 10 Desember 2020   14:41 639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Birokrat adalah seseorang yang menjadi anggota birokrasi, di dalam banyak literatur birokrat diidentikkan sebagai pegawai pemerintah yang menjalankan tugas - tugas administratif.

Di Indonesia sendiri, birokrat dikenal sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang menjadi bagian dari ASN (Aparatur Sipil Negara) berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.

Pada saat tahun - tahun politik seperti sekarang ini, birokrat sering menjadi buah bibir di banyak daerah yang tengah melaksanakan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah). Banyak "gosip" yang berseliweran bahwasanya para birokrat yang secara konstitusional diwajibkan untuk bersikap netral, justru menyalahi aturan dengan berpihak terhadap Cakada (Calon Kepala Daerah) tertentu baik secara terang - terangan maupun secara sembunyi - sembunyi.

Dilansir dari okezone.com (7/10/20) KASN (Komisi Aparatur Sipil Negara) mencatat pada pelaksanaan Pilkada Serentak tahun 2020 ini, yang pencoblosannya akan dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2020 nanti, sudah ada 694 PNS yang diduga melakukan pelanggaran netralitas dalam pelaksanaan Pilkada.

Ketua KASN menyebutkan bahwa sudah ada 492 orang yang telah diberikan rekomendasi penjatuhan sanksi pelanggaran netralitas, 256 orang diantaranya telah ditindaklanjuti oleh PPK (Pejabat Pembina Kepegawaian) masing - masing.

Adapun kemungkinan sanksi yang akan diberikan sangat beragam, mulai dari penurunan pangkat, penundaan kenaikan gaji berkala hingga pemecatan. 

Patut menjadi pertanyaan kita bersama mengapa seorang PNS yang telah memiliki pendapatan yang relatif stabil serta kehidupan yang cukup layak, rela mengambil risiko yang begitu besar bahkan dapat berujung pada pemecatan yang bersangkutan sebagai pegawai?

Sebab-sebab PNS Tidak Netral

Banyak hal yang dapat menjadi sebab seorang PNS bersikap tidak netral dalam pelaksanaan Pilkada, berdasarkan hasil observasi dan diskusi dengan berbagai narasumber, berikut uraiannya : 

Keterpaksaan, Kondisi ini biasa terjadi pada suatu daerah yang salah satu calon kepala daerahnya adalah calon petahana (incumbent). Dalam banyak kasus calon petahana memanfaatkan "kekuasaan" yang dimiliki dengan memobilisasi PNS untuk mendukung atau menggalang masa agar memilihnya.

Banyak dari PNS yang mendapatkan "perintah" untuk mendukung dan memobilisasi masa ini terpaksa melaksanakan perintah, mengingat tingkat probabilitas calon petahana untuk terpilih kembali sangatlah tinggi karena umumnya calon petahana lebih dikenal oleh pemilih daripada calon - calon lainnya. 

Lantas apa kaitannya antara keterpaksaan PNS bersikap tidak netral dengan terpilihnya kembali calon petahana?. Perlu diketahui bersama bahwa kepala daerah merupakan Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) yang salah satu kewenangannya adalah melakukan "mutasi pegawai". 

Berdasarkan kondisi ini sangat mungkin sebab PNS yang terpaksa bersikap tidak netral adalah karena khawatir akan dimutasi ke instansi ataupun tempat kerja yang tidak diharapkan oleh PNS yang bersangkutan.

Jabatan atau Kepentingan, Selain berwenang melakukan mutasi, kepala daerah juga memiliki kewenangan untuk melakukan promosi jabatan. Tidak menutup kemungkinan seorang PNS yang dinilai memiliki kontribusi dalam terpilihnya seorang kepala daerah akan diganjar dengan suatu jabatan yang bergengsi.

Selain itu, sikap PNS yang tidak netral juga dapat disebabkan karena PNS yang bersangkutan memiliki kepentingan dengan kepala daerah terpilih nantinya. Dengan bersikap mendukung dan dianggap sebagai "loyalis" oleh seorang calon kepala daerah, bukan tidak mungkin seorang PNS akan memiliki hubungan kedekatan dengan calon kepala daerah yang terpilih sehingga memiliki kesempatan untuk memenuhi kepentingan yang ia miliki.

Kedekatan, sebab ini lebih karena seorang PNS memiliki hubungan keluarga dan kedekatan dengan calon kepala daerah, sehingga "merasa" memiliki beban moral untuk mendukung dan memenangkan calon kepala daerah tertentu.

Perlunya Independensi PNS

Terkait dengan beberapa sebab seorang PNS bersikap tidak netral sebagaimana yang diungkapkan pada bagian sebelumnya, banyak pihak menawarkan berbagai solusi, salah satunya adalah mencabut hak politik PNS sama halnya seperti TNI/Polri dengan harapan ketika PNS tidak memiliki hak politik (suara), mereka tidak akan menjadi "sasaran" empuk para calon kepala daerah.

Secara politis usulan tersebut ada benarnya, akan tetapi belum mampu menyentuh akar permasalahan yang sesungguhnya. Ketika hak suara PNS dicabut, calon kepala daerah hanya kehilangan 1 (satu) suara dari PNS tersebut, akan tetapi masih bisa mendapatkan banyak suara dari orang - orang yang berhasil dimobilisasi oleh PNS untuk memilih calon kepala daerah tertentu.

Sebagaimana contoh kasus calon kepala daerah petahana yang diuraikan pada bagian sebelumnya, pada kasus tertentu sebelum penyelenggaraan Pilkada, calon petahana dapat memanfaatkan "kekuasaan" yang dimiliki untuk memberikan instruksi kepada bawahannya agar menyelipkan "pesan - pesan politis" dalam setiap program dan kegiatan yang dilaksanakan. Baik karena keterpaksaan maupun karena adanya kepentingan, seorang PNS mau atau tidak mau pasti akan melaksanakan instruksi tersebut.

Hal inilah yang menjadi dasar pemikiran penulis yang berkesimpulan bahwa akar permasalahan sesungguhnya dari masalah netralitas PNS dalam pelaksanaan Pilkada yang terus menerus menjadi masalah tahunan ini adalah kewenangan kepala daerah yang begitu luas dalam melakukan manajemen PNS (mutasi, promosi, demosi, dll).

Selain itu, pasca pelaksanaan Pilkada, kewenangan tersebut dapat digunakan untuk "membersihkan" para birokrat yang dianggap tidak mendukung kepala daerah terpilih. 

Meskipun kewenangan tersebut dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang - undangan yang berlaku, latar belakang dari penggunaannya adalah "pembersihan" sehingga dilaksanakan tanpa mempertimbangkan asas the right man on the right place. Kondisi seperti ini berpotensi menyebabkan terjadinya disfungsi birokrasi.

Guna mencegah terjadinya disfungsi birokrasi akibat permasalahan dan kepentingan politis yang terus membayangi dan mengombang - ambing birokrat kita dalam memposisikan diri sebagai pelayanan masyarakat sekaligus bawahan pejabat politik (kepala daerah), diperlukan suatu independensi yang diakomodir oleh ketentuan - ketentuan formal.

Secara spesifik penulis menawarkan solusi bahwa kewenangan manajemen PNS ada baiknya tidak lagi dipegang oleh pejabat politik (kepala daerah), kewenangan tersebut bisa diberikan kepada Sekda (Sekretaris Daerah) selaku PNS dengan jabatan tertinggi di setiap daerah, atau pejabat lain yang terbebas dari masalah politis.

"Pengalihan Kewenangan" ini tujuannya adalah untuk mengurangi kemungkinan Politisasi PNS (Utamanya PNS Daerah) dalam setiap pelaksanaan Pilkada, karena tugas utama para biroktat kita adalah melayani masyarakat, bukan turut serta dalam kegiatan politik yang dapat mengganggu konsentrasi PNS dalam melaksanakan tugas utamanya, bahkan dapat berisiko terhadap pekerjaannya.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun