Mohon tunggu...
Yudistira Pratama
Yudistira Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - Sang Pemimpi(n)

Lantang tanpa suara!

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Nasib Birokrat, Terombang-ambing Gelombang Politik

13 November 2020   06:46 Diperbarui: 10 Desember 2020   14:41 639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lantas apa kaitannya antara keterpaksaan PNS bersikap tidak netral dengan terpilihnya kembali calon petahana?. Perlu diketahui bersama bahwa kepala daerah merupakan Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) yang salah satu kewenangannya adalah melakukan "mutasi pegawai". 

Berdasarkan kondisi ini sangat mungkin sebab PNS yang terpaksa bersikap tidak netral adalah karena khawatir akan dimutasi ke instansi ataupun tempat kerja yang tidak diharapkan oleh PNS yang bersangkutan.

Jabatan atau Kepentingan, Selain berwenang melakukan mutasi, kepala daerah juga memiliki kewenangan untuk melakukan promosi jabatan. Tidak menutup kemungkinan seorang PNS yang dinilai memiliki kontribusi dalam terpilihnya seorang kepala daerah akan diganjar dengan suatu jabatan yang bergengsi.

Selain itu, sikap PNS yang tidak netral juga dapat disebabkan karena PNS yang bersangkutan memiliki kepentingan dengan kepala daerah terpilih nantinya. Dengan bersikap mendukung dan dianggap sebagai "loyalis" oleh seorang calon kepala daerah, bukan tidak mungkin seorang PNS akan memiliki hubungan kedekatan dengan calon kepala daerah yang terpilih sehingga memiliki kesempatan untuk memenuhi kepentingan yang ia miliki.

Kedekatan, sebab ini lebih karena seorang PNS memiliki hubungan keluarga dan kedekatan dengan calon kepala daerah, sehingga "merasa" memiliki beban moral untuk mendukung dan memenangkan calon kepala daerah tertentu.

Perlunya Independensi PNS

Terkait dengan beberapa sebab seorang PNS bersikap tidak netral sebagaimana yang diungkapkan pada bagian sebelumnya, banyak pihak menawarkan berbagai solusi, salah satunya adalah mencabut hak politik PNS sama halnya seperti TNI/Polri dengan harapan ketika PNS tidak memiliki hak politik (suara), mereka tidak akan menjadi "sasaran" empuk para calon kepala daerah.

Secara politis usulan tersebut ada benarnya, akan tetapi belum mampu menyentuh akar permasalahan yang sesungguhnya. Ketika hak suara PNS dicabut, calon kepala daerah hanya kehilangan 1 (satu) suara dari PNS tersebut, akan tetapi masih bisa mendapatkan banyak suara dari orang - orang yang berhasil dimobilisasi oleh PNS untuk memilih calon kepala daerah tertentu.

Sebagaimana contoh kasus calon kepala daerah petahana yang diuraikan pada bagian sebelumnya, pada kasus tertentu sebelum penyelenggaraan Pilkada, calon petahana dapat memanfaatkan "kekuasaan" yang dimiliki untuk memberikan instruksi kepada bawahannya agar menyelipkan "pesan - pesan politis" dalam setiap program dan kegiatan yang dilaksanakan. Baik karena keterpaksaan maupun karena adanya kepentingan, seorang PNS mau atau tidak mau pasti akan melaksanakan instruksi tersebut.

Hal inilah yang menjadi dasar pemikiran penulis yang berkesimpulan bahwa akar permasalahan sesungguhnya dari masalah netralitas PNS dalam pelaksanaan Pilkada yang terus menerus menjadi masalah tahunan ini adalah kewenangan kepala daerah yang begitu luas dalam melakukan manajemen PNS (mutasi, promosi, demosi, dll).

Selain itu, pasca pelaksanaan Pilkada, kewenangan tersebut dapat digunakan untuk "membersihkan" para birokrat yang dianggap tidak mendukung kepala daerah terpilih. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun