Mohon tunggu...
Yudistira Pratama
Yudistira Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - Sang Pemimpi(n)

Lantang tanpa suara!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memaknai Pentingnya Persatuan dari Fakta Perang Bubat

22 Maret 2020   16:49 Diperbarui: 25 Maret 2020   06:57 1059
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Perang Bubat

Bagi para pecinta sejarah nusantara tentu tidak asing lagi ketika mendengar istilah Perang Bubat, konon perang yang terjadi antara kerajaan sunda dan majapahit ini menjadi sebab musabab tidak adanya nama jalan yang berbau "Majapahit" seperti Jl. Hayam Wuruk, Jl. Gajah Mada ataupun Jl. Majapahit di tatar pasundan (Jawa bagian barat).

Lantas bagaimana perang ini bisa terjadi? 

Berikut ulasannya...

Kerajaan Sunda menjadi batu sandungan Mahapatih Gajah Mada

Berdasarkan literatur sejarah, Kerajaan Majapahit merupakan kerajaan terbesar di Nusantara (Indonesia). Pengaruh kerajaan ini tersebar mulai dari Semenanjung Melayu hingga Ambon (Pulau Maluku). Kurang lebih wilayah Majapahit kala itu hampir menyerupai wilayah Nusantara (Indonesia) saat ini.

Kejayaan Majapahit ini tidak terlepas dari Mahapatih Amangkubhumi Gajah Mada dengan Sumpah Amukti Palapanya yang bersumpah untuk mempersatukan seluruh Nusantara (wilayah Indonesia saat ini) dibawah kendali Kerajaan Majapahit.

Menariknya walaupun sudah menaklukan banyak daerah di luar Pulau Jawa, Majapahit sendiri belum menaklukan Kerajaan tetangganya yang berada di bagian barat Pulau Jawa yakni Kerajaan Sunda. 

Masih bebasnya sunda untuk berdiri dengan bendera (panji) kerajaannya sendiri tentu mengusik hasrat Mahapatih Gajah Mada untuk segera menaklukannya. Hal ini ditambah lagi dengan realita geografis bahwa Kerajaan sunda dan Kerajaan Majapahit memiliki perbatasan darat yang sangat panjang sehingga sangat mendukung untuk melancarkan sebuah ekspansi.

Mungkin yang juga menjadi pertanyaan beberapa pecinta sejarah adalah bagaimana bisa Semenanjung melayu hingga kepulauan ambon yang dibatasi oleh luasnya lautan bisa ditundukkan Majapahit lebih dulu daripada Kerajaan Sunda?.

Padahal untuk melakukan sebuah ekspansi ke suatu daerah yang dibatasi oleh lautan tentu membutuhkan logistik dan prajurit yang extra daripada mengekspansi suatu daerah yang hanya dipisahkan oleh garis semu yang membujur dari daratan utara hingga selatan Pulau Jawa. 

Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda memiliki hubungan kekerabatan

Kakawin Nagarakertagama menyebut bahwa pendiri Kerajaan Majapahit bernama Dyah Wijaya. Sementara, dalam Serat Pararaton Raden Wijaya menjadi sebutan lain bagi Dyah Wijaya sebagai pendiri Kerajaan Majapahit.

Berdasarkan Naskah Wangsakerta, Raden Wijaya merupakan putra dari pasanga Rakryan Jayadarma (Putra Prabu Darmasiksa dari Kerajaan Galuh yang menjadi cikal bakal berdirinya Kerajaan Sunda) dan Dyah Lembu Tal (Putri Mahisa Campaka dari Singashari yang menjadi cikal bakal berdirinya Kerajaan Majapahit).

Berdasarkan silsilah ini jelas bahwa Kerajaan Majapahit memiliki hubungan kekerabatan yang begitu erat dengan Kerajaan Sunda, dan hal ini logis untuk dijadikan jawaban atas pertanyaan "mengapa Majapahit tak kunjung menakhlukan Sunda?"

Walaupun Mahapatih Gajah Mada cukup berpengaruh di Majapahit, ia tak bisa asal menyerang suatu daerah tanpa seizin Raja yang berkuasa kala itu.

Perang Bubat Pecah Karena Ambisi Gajah Mada

Sebagaimana yang sudah penulis kemukakan sebelumnya bahwa Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda memiliki hubungan kekerabatan yang begitu erat sehingga hal ini menjadi penyebab Majapahit tidak berusaha untuk menaklukkan Kerajaan Sunda.

Akan tetapi walaupun memiliki hubungan kekerabatan yang begitu erat, pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk hubungan Majapahit dan Sunda tengah mengalami kerenggangan.

Sehingga tercetuslah pemikiran dari tetua Majapahit untuk kembali menjalin hubungan kekerabatan dengan Kerajaan Sunda melalui pernikahan politik antara Raja Hayam Wuruk dan Putri Raja Kerajaan Sunda (Maharaja Linggabuana Wisesa) yang bernama Dyah Pithaloka Citraresmi.

Singkat cerita Raja Hayam Wuruk menyetujui gagasan untuk kembali mengikat Majapahit dan Sunda melalui jalan kekerabatan. Kemudian diutuslah utusan untuk menyampaikan pesan baik itu kepada Maharaja Linggabuana Wisesa (Raja Kerajaan Sunda).

Mendengar kabar baik tersebut Raja Sunda sepakat untuk menikahkan putrinya Dyah Phitaloka Citraresmi dengan Raja Majapahit, walaupun sebelum keberangkatan rombongan kerajaan sunda ke majapahit pikiran Maharaja Linggabuana Wisesa sedikit terusik mengingat pernikahan itu akan diselenggarakan di tanah majapahit.

Hal ini jelas bertentangan dengan budaya sunda dimana setiap pelaksanaan suatu pernikahan selalu dilaksanakan di kediaman mempelai wanita, dalam hal ini pernikahan politik tersebut harusnya dilaksanakan di Kerajaan Sunda.

Akan tetapi setelah menimbang matang - matang dan diyakinkan oleh putrinya Dyah Phitaloka Citra Resmi, Rombongan Raja Sunda akhirnya sepakat dan berangkat ke Majapahit untuk menghantarkan putrinya yang telah dipinang oleh Raja Majapahit yang tersohor kala itu.

Akan tetapi Pernikahan Politik ini berbeda dengan pemikiran Mahapatih Gajah Mada yang belum berhasil menyempurnakan Sumpah Amukti Palapanya untuk menyatukan Nusantara, sehingga ia memanfaatkan momentum ini sebagai celah untuk mewujudkan ambisinya.

Mahapatih Gajah Mada menawarkan diri kepada Raja Hayam Wuruk untuk menjemput rombongan pengantin Kerajaan Sunda dengan alasan yang logis sehingga mendapatkan titah langsung dari Raja.

Setelah mendapat titah, Gajah Mada pergi dengan pasukannya untuk menyambut rombongan pengantin dari Kerajaan Sunda yang terdiri dari Raja Linggabuana Wisesa, Permaisuri kerajaan, Dyah Pithaloka Citraresmi dan beberapa punggawa kerajaan beserta prajuritnya.

Ketika kedua rombongan ini bertemu dilapangan bubat, Gajah Mada meminta Raja Linggabuana Wisesa untuk segera menyerahkan Putri Dyah Phitaloka Citraresmi sebagai tanda tunduk Kerajaan Sunda terhadap Kerajaan Majapahit.

Mendengar pernyataan Gajah Mada tersebut Raja Sunda Maharaja Linggabuana Wisesa merasa harga dirinya terinjak - injak sehingga pecahlah Perang Bubat yang lazim kita kenal saat ini.

Karena jumlah kekuatan yang tidak seimbang, akhirnya seluruh rombongan pengantin dari Kerajaan Sunda gugur termasuk Raja dan Permaisuri Kerajaan Sunda. Mengetahui ayah dan ibu serta rombongannya dibunuh oleh pasukan Gajah Mada, Putri Dyah Pithaloka Citraresmi mengambil keputusan untuk mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri.

Terkait penyebab awal mula Perang Bubat ini, beberapa penulis fiksi sejarah ada yang berpendapat bahwa perasaan cinta Gajah Mada terhadap Dyah Pithaloka Citraresmi yang akan dipinang oleh rajanya sendiri menjadi sebab terjadinya perang bubat, Gajah Mada sengaja memperkeruh suasana agar acara pernikahan pujaan hatinya dan sang raja dapat dibatalkan.

Pasca Perang Bubat, kepercayaan Raja Hayam Wuruk terhadap Mahapatih Amangkubhumi Gajah Mada yang telah berjasa besar bagi Kerajaan Majapahit semakin menurun. Hal ini dibuktikan dengan pemberian Hayam Wuruk berupa tanah di Madakaripura (Probolinggo) untuk Gajah Mada, yang dapat diartikan sebagai anjuran halus agar Gajah Mada mempertimbangkan untuk pensiun.

Adapun Maharaja Linggabuana Wisesa yang gugur diberi gelar sebagai "Prabu Wangi" oleh masyarakat sunda untuk mengenang sikap ksatrianya karena telah memperjuangkan harkat dan martabat sunda pada perang bubat.

Konon, peristiwa inilah yang menyebabkan adanya dendam masyarakat sunda sehingga sampai dengan saat ini tidak ada nama jalan yang berbau Majapahit di tatar pasundan.

Perang Bubat Fakta atau Fiksi?

Berdasarkan beberapa penelitian yang sudah dilakukan, para sejarawan kita sejauh ini masih memegang kesimpulan bahwa kisah perang bubat anatara Majapahit dan Kerajaan Sunda hanyalah sebuah Fiksi.

Pendapat ini dikarenakan sejauh ini kisah tentang perang bubat hanya dimuat didalam karya - karya fiksi dan digubah pasca runtuhnya Kerajaan Majapahit. Sementara Kakawin Nagarakertagama gubahan Mpu Prapanca pada era Pemerintahan Hayam Wuruk serta Catatan Perjalanan Bujangga Manik yang sempat singgah di Bubat tidak mengisahkan perihal perang antara Majapahit dan rombongan pengantin Kerajaan Sunda.

Selain itu beberapa Naskah Kuno yang memuat kisah tentang perang ini memiliki perbedaan kisah dan pandangan.

Semisal  Kidung Sunda, Kidung Sundayana, Babad Dalem, Hikayat Sang Bima dan Serat Pararaton cenderung menyalahkan Gajah Mada sebagai pemicu perang tersebut.

Sementara Carita Parahyangan cenderung menyalahkan Dyah Pithaloka sebagai pemicu perang di Lapangan Bubat ini.

Menurut para Sejarawan kita, kisah perang bubat ini sengaja dirancang oleh Pemerintah Kolonial untuk melakukan Politik Adu Domba (Devide et Impera) terhadap masyarakat Jawa bagian barat dan Jawa bagian timur, hal ini mengingat bahwa kolonial mempunyai kepentingan dari terkotak - kotaknya masyarakat Nusantara (Indonesia) kala itu.

Diakhir tulisan ini jelas bahwa Perang Bubat merupakan sebuah fiksi dan Faktanya sebagai Fiksi adalah bahan pembelajaran yang dapat kita ambil guna mempererat Persatuan dan Kesatuan Bangsa kita. Seharusnya kita lebih peka untuk tidak mudah terpancing dengan isu SARA yang sengaja dihembuskan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab untuk mengambil keuntungan dari perpecahan yang terjadi pada bangsa kita - Yudistira Pratama

Sumber : Achmad, Sri Wintala. 2019. Perang Bubat (1279 Saka) membongkar fakta Kerajaan Sunda VS Kerajaan Majapahit. Yogyakarta : Araska Publisher

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun