Kakawin Nagarakertagama menyebut bahwa pendiri Kerajaan Majapahit bernama Dyah Wijaya. Sementara, dalam Serat Pararaton Raden Wijaya menjadi sebutan lain bagi Dyah Wijaya sebagai pendiri Kerajaan Majapahit.
Berdasarkan Naskah Wangsakerta, Raden Wijaya merupakan putra dari pasanga Rakryan Jayadarma (Putra Prabu Darmasiksa dari Kerajaan Galuh yang menjadi cikal bakal berdirinya Kerajaan Sunda) dan Dyah Lembu Tal (Putri Mahisa Campaka dari Singashari yang menjadi cikal bakal berdirinya Kerajaan Majapahit).
Berdasarkan silsilah ini jelas bahwa Kerajaan Majapahit memiliki hubungan kekerabatan yang begitu erat dengan Kerajaan Sunda, dan hal ini logis untuk dijadikan jawaban atas pertanyaan "mengapa Majapahit tak kunjung menakhlukan Sunda?"
Walaupun Mahapatih Gajah Mada cukup berpengaruh di Majapahit, ia tak bisa asal menyerang suatu daerah tanpa seizin Raja yang berkuasa kala itu.
Perang Bubat Pecah Karena Ambisi Gajah Mada
Sebagaimana yang sudah penulis kemukakan sebelumnya bahwa Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda memiliki hubungan kekerabatan yang begitu erat sehingga hal ini menjadi penyebab Majapahit tidak berusaha untuk menaklukkan Kerajaan Sunda.
Akan tetapi walaupun memiliki hubungan kekerabatan yang begitu erat, pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk hubungan Majapahit dan Sunda tengah mengalami kerenggangan.
Sehingga tercetuslah pemikiran dari tetua Majapahit untuk kembali menjalin hubungan kekerabatan dengan Kerajaan Sunda melalui pernikahan politik antara Raja Hayam Wuruk dan Putri Raja Kerajaan Sunda (Maharaja Linggabuana Wisesa) yang bernama Dyah Pithaloka Citraresmi.
Singkat cerita Raja Hayam Wuruk menyetujui gagasan untuk kembali mengikat Majapahit dan Sunda melalui jalan kekerabatan. Kemudian diutuslah utusan untuk menyampaikan pesan baik itu kepada Maharaja Linggabuana Wisesa (Raja Kerajaan Sunda).
Mendengar kabar baik tersebut Raja Sunda sepakat untuk menikahkan putrinya Dyah Phitaloka Citraresmi dengan Raja Majapahit, walaupun sebelum keberangkatan rombongan kerajaan sunda ke majapahit pikiran Maharaja Linggabuana Wisesa sedikit terusik mengingat pernikahan itu akan diselenggarakan di tanah majapahit.
Hal ini jelas bertentangan dengan budaya sunda dimana setiap pelaksanaan suatu pernikahan selalu dilaksanakan di kediaman mempelai wanita, dalam hal ini pernikahan politik tersebut harusnya dilaksanakan di Kerajaan Sunda.