Beragam aktifitas ada disitu. Mulai dari pedagang makanan dan atribut, posko makanan gratis, pengamen, sampai lalu lalangnya relawan pembersih sampah membawa kantong plastik hitam besar untuk meminta ataupun memungut sampah yang ada. Bendera-bendera Tauhid yang didominasi warna hitam dan putih juga berkibar dengan lantang digerakkan oleh tangan-tangan para peserta reuni. Jalanan berubah menjadi putih karena hampir semua peserta menggunakan baju dengan warna yang sama: putih.
Sampai juga kami di stasiun Gambir. Dan sama seperti sebelum-sebelumnya, kami menapaki langkah demi langkah dengan perlahan namun pasti untuk dapat memasuki kawasan Monas. Awalnya kami ragu karena melihat ribuan jamaah sudah begitu banyak dipintu gerbang Monas. Petugas dari LPI (Laskar Pembela Islam) yang berseragam putih, turut mengatur alur masuk para peserta. Pada akhirnya kami tetap melanjutkan niat kami untuk masuk kawasan Monas. Dan berhasil...
Saya dan tetangga saya beristirahat sejenak didalam Monas. Persis didepan sebuah pengeras suara agar kami bisa ikut mendengar apa yang disampaikan oleh panitia nun jauh disana. Sempat kami dengar lagi Ustadz Haikal Hasan memberikan sambutan serta mengumumkan anak yang hilang. Lalu Pak Prabowo Subianto, serta doa yang entah oleh siapa dipanjatkan. Sementara itu ribuan benderta Tauhid tetap berkibar menghiasi langit Monas pagi itu.
Setelah cukup bagi kami berada didalam Monas, kami putuskan untuk keluar menuju pintu lain yaitu pintu Patung Kuda Arjuna Wiwaha. Sesekali mata kami menangkap beberapa moment. Ada kumpulan peserta dari berbagai daerah (ditunjukkan dengan tuisan pada spanduk tentang darimana mereka berasal). Ada posko medis. Ada psoko makanan dan minuman gratis. Ada truk sampah. Ada bayi dalam gendongan ibunya. Ada orang tua berkursi roda yang didorong oleh anaknya. Dan yang yang tidak pernah hilang adalah relawan sampah yang hilir mudik tanpa lelah membersihkan areal Monas.
Puncak perjuangan terberat kami ada disini. Untuk dapat keluar dari kawan Monas menuju pintu Patung Kuda, kami berhenti cukup lama. Dibawah terik matahari yang cukup membakar, peluh keringat kami terus bercucuran.Â
Bebarapa wanita saya lihat sudah pingsan atau hampir pingsan. Kondisi ini disebabkan karena banyaknya posko yang berdiri disekitar pintuk keluar itu yang menghambat jalan keluar peserta reuni. Belum lagi pintu besi yang tidak dibuka full seratus persen. Serta peserta reuni yang juga akan masuk kedalam Monas. Bagi saya sendiri, saya menganggap ini latihan kalau-kalau Allah segera memanggil saya ke Tanah Suci untuk umroh atau haji, Aamiin ya Allah Aamiin :-)
Akhirnya berhasil-lah kami keluar. Tidak lupa kami ingatkan untuk para peserta yang akan masuk ke Monas untuk membatalkan niatan mereka karena kondisi yang tidak memungkinkan. Lagi-lagi kami harus beristirahat karena haus melanda. Dan setelah membasahi kerongkongan kami dengan air, kami lanjutkan perjalanan pulang.Â
Sudah pukul sepuluh pagi. Namun kami lihat peserta masih terus berdatangan, baik itu yang dari arah Budi Kemuliaan, Kebon Sirih, maupun dari jalan Jendral Sudirman. Pekikan Allahu Akbar dan puji-pujian kepada Rasulullah dalam bentuk sholawat, terus terdengar. Ingin rasanya kami terus berada disana. Tapi lebih baik kami putuskan pulang agar nantinya bisa sholat Dzuhur berjamaah di kompek kami.
Stasiun Gondangdia masih terus memutih. Ratusan orang yang hendak pulang ke rumah masing-masing kembali harus berjibaku untuk bisa sampai ke peron atas. Demikian juga dengan kami. Dan akhirnya kamipun berhasil pulang dengan menumpang kereta jurusan Bogor.
Alhamdulillah... Bahagia dan puas rasanya kembali menjadi bagian dari saksi reuni 212 tahun 2018 ini. Semoga Allah ridho dengan niatan kami --beserta jutaan peserta lainnya- dan mencatatnya sebagai amalan baik kami. Aamiin Allahumma Aamiin..