Mohon tunggu...
Yudi Irawan
Yudi Irawan Mohon Tunggu... Bukan Seorang Penulis

Seseorang yang baru saja belajar menulis di usia senja :-)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Reuni Cinta 212

2 Desember 2018   17:51 Diperbarui: 2 Desember 2018   18:01 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bismillahirrahmaanirrahiim...

Allahu Akbar!!

Kalimat atau kata ini yang hampir tidak pernah lepas dari mulut saya ketika saya kembali ikut dalam Reuni terbesar di negeri ini: Reuni Cinta 212. Saya menamakan ini (atau lebih tepatnya mengutip) karena memang kehadiran saya dan jutaan umat Islam hari ini karena berdasarkan cinta. Ya, kecintaan kami akan persatuan umat, kecintaan kami akan kalimat Tauhid, juga kecintaan kami akan negeri ini. Jadi salah besar kalau kehadiran kami untuk mengembosi NKRI!! Salah besar. Justru ini bentuk besarnya cinta kami untuk negeri ini.

Saya berangkat dari rumah berdua dengan tetangga sekaligus saudara seiman menggunakan motor. Selepas sholat subuh kami memacu motor kami perlahan menuju stasiun kereta. Jalanan masih sepi. Namun begitu tiba di stasiun, calon penumpang sudah cukup banyak. Antrian pembelian tiket kereta mengular sampai luar. Hampir semua dari mereka adalah calon penumpang yang juga akan mengikuti Reuni Cinta 212. Untungnya kami berdua sudah mempunyai kartu uang elektronik yang juga berfungsi sebagai tiket masuk sehingga tidak harus ikut mengantre seperti peumpang lain.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Jam 5:15 ketika kami mulai menaiki kereta. Saat itu kereta masih kosong sehingga Alhamdulillah kami bisa dapat duduk. Kereta mulai berjalan. Satu demi satu stasiun dihampiri. Dan disetiap stasiun itu pula penumpang yang setujuan dengan kami masuk. Beragam rupa. Tua-muda, lelaki-perempuan, anak-anak, sampai dengan bayi. Sesekali terdengar lantuan sholawat Nabi dikumandangkan. Cukup syahdu pagi ini didalam kereta.

Jam 6 kami tiba di Stasiun Gondangdia. Namun kami kesulitan untuk keluar dari pintu kereta. Ini disebabkan banyaknya jamaah yang belum bisa turun dari peron sehingga menghambat kami keluar. Petugas senantiasa memberikan arahan agar memberi jalan penumpang keluar sambil mengingatkan agar berdiri belakang garis kuning peron supaya tidak sampai tersambar kereta yang akan jalan atau yang akan tiba berikutnya. Masya Allah... Ghiroh reuni semakin terasa disini. Dan stasiunpun berubah menjadi nuansa putih.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Terus terang, cukup memakan waktu untuk bisa keluar dari stasiun. Tidak lain dan tidak bukan karena tidak sebandingnya pintu akses keluar dengan jumlah penumpang yang ada. Baru juga sekitar sepuuh langkah kami mengendap jalan, kereta berikutnya sudah tiba lagi. Sama dengan kami, ratusan orang mencoba turun. Peron semakin padat. 

Hampir tiga puluh menit perjuangan kami hanya untk bisa menghirup udara diluar stasiun. Namun perjuangan kami ini diganjar dengan pembagian roti dan air mineral dibawah. Alhamdulillah.. belum juga sampai lokasi acara, sudah ada orang mulia yang membagi-bagikan bekal makanan dan minuman. Semoga Allah merahmati anda, wahai saudara yang mulia.

Kami mencoba menyusuri jalan menuju kawan Monas. Tapi memang tidak mudah. Kami terhambat dengan banyaknya peserta reuni lain yang juga akan menuju lokasi yang sama. Kendaraan sudah terparkir dijalan akibat penuh sesaknya lalu lintas. Sebagian saya lihat menurunkan bekal makanan untuk para peserta. 

Macam-macam rupa kegiatan. Dan karena penuhnya jalanan oleh para peserta itu, kami putuskan untuk mencoba peruntungan kami lewat stasiun Gambir. Sayup-sayup lewat pengeras suara kami dengar suara Ustadz Haikal Hasan memberikan orasinya. Diselingi oleh lantunan ayat suci Al-Quran oleh seorang Hafidz cilik. Entah siapa namanya.

Sepanjang perjalanan menuju Gambir, yang kami dengar hanya kalimat Allahu Akbar dan sholawat atas baginda Nabi Muhammad SAW. Tidak pernah putus. Demikian juga bibir kami. Setiap desahan nafas ketika berjalan senantiasa mengucapkan takbir dan sholawat itu. Kami perhatikan juga sekeliling kami. 

Beragam aktifitas ada disitu. Mulai dari pedagang makanan dan atribut, posko makanan gratis, pengamen, sampai lalu lalangnya relawan pembersih sampah membawa kantong plastik hitam besar untuk meminta ataupun memungut sampah yang ada. Bendera-bendera Tauhid yang didominasi warna hitam dan putih juga berkibar dengan lantang digerakkan oleh tangan-tangan para peserta reuni. Jalanan berubah menjadi putih karena hampir semua peserta menggunakan baju dengan warna yang sama: putih.

Sampai juga kami di stasiun Gambir. Dan sama seperti sebelum-sebelumnya, kami menapaki langkah demi langkah dengan perlahan namun pasti untuk dapat memasuki kawasan Monas. Awalnya kami ragu karena melihat ribuan jamaah sudah begitu banyak dipintu gerbang Monas. Petugas dari LPI (Laskar Pembela Islam) yang berseragam putih, turut mengatur alur masuk para peserta. Pada akhirnya kami tetap melanjutkan niat kami untuk masuk kawasan Monas. Dan berhasil...

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Kawasan Monas berwarna putih. Dan didalam Monas itu sendiri ternyata tidak begitu semrawut seperti diluar. Peserta sebagian sudah duduk dan berisitarahat sambil mendengarkan orasi yang keluar dari pengeras suara. Dan sama seperti aksi-aksi sebelumnya, mereka tertib tanpa menginjak atau duduk dirumput. Para peserta juga saling mengingatkan agar jangan ada rumput yang terinjak oleh kami. Tuh kan benar apa yang sering diposting di media sosial: Rumput saja kami jaga, apalagi NKRI!!!

Saya dan tetangga saya beristirahat sejenak didalam Monas. Persis didepan sebuah pengeras suara agar kami bisa ikut mendengar apa yang disampaikan oleh panitia nun jauh disana. Sempat kami dengar lagi Ustadz Haikal Hasan memberikan sambutan serta mengumumkan anak yang hilang. Lalu Pak Prabowo Subianto, serta doa yang entah oleh siapa dipanjatkan. Sementara itu ribuan benderta Tauhid tetap berkibar menghiasi langit Monas pagi itu.

Setelah cukup bagi kami berada didalam Monas, kami putuskan untuk keluar menuju pintu lain yaitu pintu Patung Kuda Arjuna Wiwaha. Sesekali mata kami menangkap beberapa moment. Ada kumpulan peserta dari berbagai daerah (ditunjukkan dengan tuisan pada spanduk tentang darimana mereka berasal). Ada posko medis. Ada psoko makanan dan minuman gratis. Ada truk sampah. Ada bayi dalam gendongan ibunya. Ada orang tua berkursi roda yang didorong oleh anaknya. Dan yang yang tidak pernah hilang adalah relawan sampah yang hilir mudik tanpa lelah membersihkan areal Monas.

Puncak perjuangan terberat kami ada disini. Untuk dapat keluar dari kawan Monas menuju pintu Patung Kuda, kami berhenti cukup lama. Dibawah terik matahari yang cukup membakar, peluh keringat kami terus bercucuran. 

Bebarapa wanita saya lihat sudah pingsan atau hampir pingsan. Kondisi ini disebabkan karena banyaknya posko yang berdiri disekitar pintuk keluar itu yang menghambat jalan keluar peserta reuni. Belum lagi pintu besi yang tidak dibuka full seratus persen. Serta peserta reuni yang juga akan masuk kedalam Monas. Bagi saya sendiri, saya menganggap ini latihan kalau-kalau Allah segera memanggil saya ke Tanah Suci untuk umroh atau haji, Aamiin ya Allah Aamiin :-)

Akhirnya berhasil-lah kami keluar. Tidak lupa kami ingatkan untuk para peserta yang akan masuk ke Monas untuk membatalkan niatan mereka karena kondisi yang tidak memungkinkan. Lagi-lagi kami harus beristirahat karena haus melanda. Dan setelah membasahi kerongkongan kami dengan air, kami lanjutkan perjalanan pulang. 

Sudah pukul sepuluh pagi. Namun kami lihat peserta masih terus berdatangan, baik itu yang dari arah Budi Kemuliaan, Kebon Sirih, maupun dari jalan Jendral Sudirman. Pekikan Allahu Akbar dan puji-pujian kepada Rasulullah dalam bentuk sholawat, terus terdengar. Ingin rasanya kami terus berada disana. Tapi lebih baik kami putuskan pulang agar nantinya bisa sholat Dzuhur berjamaah di kompek kami.

Stasiun Gondangdia masih terus memutih. Ratusan orang yang hendak pulang ke rumah masing-masing kembali harus berjibaku untuk bisa sampai ke peron atas. Demikian juga dengan kami. Dan akhirnya kamipun berhasil pulang dengan menumpang kereta jurusan Bogor.

Alhamdulillah... Bahagia dan puas rasanya kembali menjadi bagian dari saksi reuni 212 tahun 2018 ini. Semoga Allah ridho dengan niatan kami --beserta jutaan peserta lainnya- dan mencatatnya sebagai amalan baik kami. Aamiin Allahumma Aamiin..

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun