Alhamdulillah, ribuan bintang dan milky way menghiasi langit malam itu. Masya Allah... lagi-lagi kami mengagumi keindahan ciptaan Allah itu. Dan itu artinya tidak ada hujan yang turun yang mungkin saja bisa menggangu tidur kami. Termasuk irama dengkur Toto dan Alfons yang saling bersahutan sepanjang malam. Terasa merdu mengalahkan suara duet Raisa dan Isyana :-)
Terima kasih ya Allah untuk hari itu.
Sabtu, 12 Mei 2018
Toto bangun paling dulu, dan langsung membangunkan kami semua, termasuk tenda tetangga yang dihuni Wahyu, Naw dan Ari. Tanpa perlu banyak diingatkan lagi, kami semua bergegas untuk menyiapkan keperluan pendakian summit. Jam pagi itu menunjukkan 03.20 ketika kami mulai berjalan perlahan ditengah kegelapan.Â
Hanya Ari yang tinggal di tenda karena memang disiagakan untuk kebutuhan kami turun nanti. Dengan bermodal senter dikepala masing-masing, kami telusuri jalan berliku dan menanjak. Sekali lagi tidak ada bonus sama sekali. Batu terjal, akar pohon, kerikil kecil yang licin jadi pijakan kami. Dan tidak seperti sebelum-sebelumnya. Bagi saya pribadi, mungkin ini track yang paling ektrim yang saya lalui. Kesulitannya diatas bayangan saya.Â
Saya pikir, Gunung Lawu sudah berat (kalau baca cerita saya tentang pendakian Gunung Lawu). Ternyata salah. Ini jauh lebih berat. Saya betul-betul kepayahan untuk menjejakkan setiap langkah kaki.
Hampir setiap tiga menit atau beberapa langkah, saya pasti berhenti untuk mengumpulkan tenaga dan nafas. Ini yang membuat saya tertinggal dibandingkan Toto, Alfons dan Wahyu. Koh Roni? Jangan diceritain deh, tahu sendiri kan dia, hahaha... Untungnya ada Naw yang setia menemani teman tangguh saya itu. Persis Rexona yang setia setiap saat.
Batu inilah yang menjadi tempat pengambilan foto-foto keren dengan latar belakang pegunungan di Jawa Tengah. Sumbing, Merbabu, Merapi, Lawu, Ungaran adalah gunung-gunung yang nantinya akan menghiasi latar belakang foto-foto di Pos Empat ini. Saya, Toto, Alfons dan Wahyu-pun tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Beragam sudut dan gaya pengambilan foto kami lakukan. Setelah puas baru kami mulai mendaki lagi untuk segera mencapai puncak.Â
Sama seperti Gunung Semeru, namun ini leih kasar bebatuannya. Dari kejauhan saya lihat Koh Roni sudah sampai di Pos Empat dan sedang asyik bergaya untuk foto-foto. Saya senyum-senyum sendiri melihatnya. Dan ketika menengok keatas, saya lihat Alfons yang gak punya udel dan capek itu terus aja jalan dengan santainya. Duh tuh orang, kakinya dibuat dari apa sih?Â
Rasanya inilah puncak dari segala kelelahan saya. Bebatuan terjal, licin dan kemiringan hampir 60 derajat rupanya membuat perlawanan saya berakhir.
Pada sebuah batu saya bersandar. Sebetulnya saya sudah meilhat Sang Saka Merah Putih berkibar dengan gagahnya. Dibelakangnya ada sekumpulan asap dari kawah belerang yang terbang seolah memanggil. Itulah tanda dari puncak Gunung Sindoro. Paling sekitar 30 meter lagi dari tempat saya bersandar. Tapi apa daya, seluruh kekuatan saya sudah hilang. Wahyu yang menyadari saya duduk dengan nafas yang terengah-engah, mencoba memberikan semangat.