"...... penghakiman (pengambilan keputusan ) macam Pulau Batu Puteh, Pulau Sipadan dan Ligitan, kita bersetuju dengan pihak umum supaya dirujuk kepada mahkamah dan kita akan terima semua hal yang dibuat oleh mahkamah,” katanya.
Tun Dr Mahathir Mohamad mungkin mendukung keputusan yang dibuat oleh mantan perdana menteri Datuk Seri Najib Razak pada tahun 2013 untuk menghentikan pembayaran cession tahunan kepada ahli waris Sultan Sulu menyusul serangan di Lahad Datu, Sabah.
Berita Harian juga melaporkan bahwa Tun M yang menjadi mantan perdana menteri dua kali Malaysia itu mengajukan pertanyaan apakah keputusan itu dibuat sesuai dengan ketentuan hukum untuk mengakhiri perjanjian lama menghindari perselisihan di masa depan.
"....saya diberitahu bahwa keputusan itu tidak dirujuk ke kabinet dan Dewan Rakyat (pada 2013), " kata Dr Mahathir Dr Mahathir yang saat ini anggota parlemen Langkawi.
“Karena itu, kami menghadapi masalah," Dr Mahathir.
Masalahnya mungkin ahli waris Sultan Sulu punya bukti yang kuat.
Pembayaran dari Malaysia kepada ahliwaris Sultan Sulu menjadi bukti berujung tuntutan yang jumlahnya US$14,92 miliar (RM62,59 miliar) atau RM62,59 miliar setara dengan Rp214,495 triliun miliar dengan asumsi Rp3.427 per RM
Aset Petronas yang terdaftar di Luksemburg, yaitu Petronas Azerbaijan (Shah Deniz) dan Petronas South Caucasus, nilai aset tidak lebih dari US$2 miliar (RM8,8 miliar)
Malaysia juga telah diberikan kesempatan oleh Pengadilan Banding Paris di Prancis, penundaan. Itu bukan berarti batal tapi memberi kesempatan bagi Malaysia yang harus menyelesaikan dengan sungguh sungguh.
Malaysia "berkilah"
tahun 1878, sultan Sulu memutuskan untuk memberikan apa yang sekarang menjadi Sabah kepada sebuah perusahaan Inggris.
Pokok pertentangan dalam perjanjian tahun 1878 adalah kata Melayu, 'pajakkan'.
Ahli bahasa Spanyol pada tahun 1878 dan antropolog Amerika H. Otley Beyer dan Harold Conklin pada tahun 1946 menerjemahkan 'pajakkan' sebagai 'arrendamiento' atau 'untuk menyewakan'.