Kepulauan Cocos (Keeling) Â lebih dekat ke Indonesia daripada ke Australia sebagai pemilik pulau itu.
Dari Australia , Perth  2.768 kilometer. Dari Sumatera kurang dari 1.000 km.
Lebih menarik lagi penduduk pulau ini 80 persen berasal dari keturunan Indonesia dan Malaysia (melayu)
Pertama kali pada 1609  di bawah komando Kapten William Keeling, mendarat  pada saat itu pulau itu kosong tidak berpenghuni.
Pada tahun 1825 seorang pemilik kapal dan pedagang Inggris John Clunies Ross bersama pengikutnya dari Jawa dan Kalimantan tiba di pulau itu menguasai Cocos.
Mantan majikan Ross bernama Alexander Hare, dari Kalimantan  tiba dengan sejumlah pengikut dan ingin membuat pemukiman permanen pertama.
Pertengkaran dan perselisihan, kisah cinta "harem" Hare yang punya banyak gundik dari India Jawa dan Malaya.
Dia juga banyak pengikut, namun tidak bisa menguasainya.
Pertengkaran terjadi dan sebagian besar pengikut  Hare memihak Ross.
Hare kalah dan diusir dari pulau itu , Clunies Ross keluarganya dan pengikut barunya yang anak  buah Hare ditinggalkan dalam kepemilikan tunggal mengabdi pada Clunnies Ross atas pulau itu pada Maret 1831.
Pada tahun 1886 Ratu Victoria memberikan pulau-pulau itu untuk selamanya kepada keluarga Clunies Ross.
Belanda mengklaim pulau itu sebagai bagian dari miliknya.
Atas perintah dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda, bendera Belanda dikibarkan di atasnya.
Ross protes dan minta kepada Den Hagg agar Belanda hengkang dari Cocos. Apa jadinya kalau pulau itu menjadi bagian dari Hindia Belanda bisa jadi milik Indonesia.
Sayangnya tindakan Belanda di Cocos tidak didukung oleh Den Haag dan Belanda terpaksa keluar dari Cocos.
Inggris dengan  HMS Juno pada tanggal 31 Maret 1857 menganeksasi pulau tersebut dan meletakan  sebagai wilayah Inggris yang berpangkalan di Singapura.
Atas permintaan Australia, kedaulatan Pulau Cocos diserahkan ke Australia pada tahun 1958 setelah sebelumnya  Inggris pergi dan dikuasai Singapura.
Pemerintah Australia melakukan pembayaran ex gratia sebesar £ 2,9 juta kepada Pemerintah Singapura.
Kedaulatan Kepulauan Cocos  dialihkan ke Persemakmuran Australia dengan Tuan Harold James Hull ditunjuk sebagai Administrator pada tanggal 23 November 1955.
Namun kepemilikan dari pulau itu masih ada pada keluarga Ross dan terpaksa tetap dihormati.
Dalam sebuah laporan yang mengkritik pemerintah Australia, dikatakan bahwa orang Melayu Cocos hidup dalam kondisi feodal dalam kekuasaan Ross .
Canberra Times melaporkan bahwa menteri khusus negara, Douglas McClelland, mengatakan hak asasi penduduk Melayu Cocos diabaikan
Clunies-Ross .
Dia menentukan kondisi kerja mereka, menentukan standar hidup mereka , mengontrol sebagian besar aspek kehidupan mereka."
Sebuah misi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengunjungi pulau-pulau tersebut pada tahun 1974 mendatangi pulau Cocos.Referendum tahun 1984 pada tanggal 6 April  dalam suatu pemilihan yang difasilitasi PBB menawarkan kepada penduduk pulau, termasuk anggota keluarga Clunies-Ross,  pilihan - integrasi dengan Australia atau kemerdekaan.
Clunies-Ross berkampanye untuk kemerdekaan, namun 86 persen penduduk memilih integrasi penuh dengan Australia.
Berakhirlah sistim feodal kerajaan Clunies Ross yang memerintah Pulau Cocos.
Setelah penentuan nasib sendiri, Â sekitar 100 rumah yang dapat disewa tetapi tidak dibeli oleh penduduk.
Sekitar 500 orang Cocos Melayu tinggal di Cocos (Home Island) sementara 120 orang lainnya, kebanyakan dari daratan, tinggal di West Island.
Masyarakat terhubung dengan kapal feri harian yang membawa orang ke sekolah dan tempat kerja.
Tinggal  di Home Island ( Cocos) merasa seperti berada di Malaysia atau Indonesia .
Home Island menawarkan supermarket, tempat perlindungan topan, klinik, sekolah dasar, dan gym.
Di tengah kampung terdapat masjid - adzan terdengar di seluruh Pulau lima kali sehari.
Karena orang Cocos Melayu merupakan 80 persen dari populasi, pulau-pulau tersebut memiliki perbedaan sebagai satu-satunya wilayah mayoritas Muslim di Australia.
Di sekolah, anak-anak diajar dalam bahasa Inggris, tetapi di rumah mereka menggunakan bahasa ibu mereka, bahasa Melayu Cocos agamis( islam) yang jauh lebih kuat.
"Saat ini kami telah menjadikan agama dan lebih fokus pada kehidupan di sini," kata Ms Sloan seorang penduduk pulau Cocos.
"Dulu, ibuku tidak pernah memakai jilbab, hanya blus atau bahkan rok mini dan pakaian yang benar-benar terbuka.
Di Pulau mobil dibatasi untuk kendaraan penting dan kebanyakan orang mengendarai mobil klub atau sepeda quad.
Hidup hanya berputar di sekitar keluarga dan memancing, dan ini sangat aman, terutama untuk anak-anak.
Penduduk pulau Cocos sebagian adalah mayoritas dari keturunan Indonesia dan Malaya (Malaysia)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H