Untung saya masih bisa menahan emosi dan tidak melumat mereka yang berkata demikian. Berpuasa sebulan penuh memang menjadikan kita jadi individu yang bisa lebih menahan hawa nafsu dan bisa lebih memaafkan.
Tapi situasi seperti itu benar-benar mengusik kenyamanan saya dan saya berharap di lebaran berikutnya  minimal saya sudah tidak menganggur. Sayangnya kondisi ini berlanjut di lebaran berikutnya, tahun 2020 memang saya sudah mendapat pekerjaan, namun kontrak saya berakhir sebelum bulan puasa dan ketika saya sedang mencari pekerjaan, dunia berada dalam pandemic covid-19, jadilah saya menganggur di saat lebaran tahun kemarin.
Kini di tahun 2021 akhirnya saya bisa  lepas dari omongan yang mengusik saya tersebut.
Tapi, eits ada tapi nih, apa yang saya sampaikan diatas hanyalah emosi sesaat, setelah hampir satu bulan di rantau, saya merasa juga yang namanya homesick, kangen dengan suasana ramadhan di rumah, kangen dengan masakan ibu, dan hal lain yang tidak saya temukan di perantauan.
Ibu yang Sakit.
Terlebih mendapat kabar ibu yang sempat sakit, dan sampai tidak puasa beberapa hari, padahal seingat saya, ibu tidak pernah bolong puasa semenjak beliau menopause, bahkan biasanya, ibu langsung melanjutkan untuk berpuasa sunnah di bulan syawal sehari setelah lebaran.
Bisa jadi ibu ini sakit karena ini pertama kalinya saya akan melewatkan lebaran di rumah, meskipuna begitu, ibu tidak mau mengaku, beliau hanya bilang jika dirinya sakit karena kecapekan saja dan bukan karena memikirkan anaknya.
Beliau malah memotivasi saya untuk terus bersemangat di perantauan, kondisi ibu dan bapak baik-baik saja, saya tidak usah memaksa untuk mudik, karena masih banyak virus, jangan membawa virus lagi kerumah.
Beberapa bulan lalu, saat saya resign adalah karena saya harus merawat kedua orang tua saya yang terkena covid-19. Virus itu saya bawa kerumah  karena saya bekerja di pabrik manufaktur di Brebes dan pada akhirnya menginfeksi kedua orang tua saya.