Adapun yang dikatakan berbentuk menyerupai salib adalah "supergraphic", supergraphic ini terdiri dari 10 elemen yang merupakan dekonstruksi  logo 75 tahun yang kemudian dipecah lagi menjadi 10 bagian yang merepresentasikan nilai luhur pancasila.
 Logo yang Kian Bermasalah.
Kita tinggalkan dulu terkait isu SARA yang ada di spanduk ini, sebelumnya terkait desain logo HUT RI memang sering menimbulkan perdebatan.
Mengutip dari tulisan milik kompasianer Musa Hasyim dalam tulisannya yang berjudul Mengenang Logo HUT RI dari "Underate" hingga "Overvalue", logo HUT RI dari tahun ke tahun dinilai tidak kreatif.
Jika Mas Musa pernah bertemu langsung dengan Wahyu Aditya, pendiri "Kementerian Desain Republik Indonesia", dan menyampaikan mengenai desain logo HUT RI yang tidak kreati, saya menjumpai pemikiran  mas Wahyu Aditya atau Waditya ini melalui buku beliau yang berjudul "Sila Ke-6,Kreatif Sampai Mati".
Dalam buku yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka di tahun 2013 ini, beliau mengkritik jika desain logo HUT RI dari tahun 2005 sampai dengan 2011 tidak memiliki unsur kreatif didalamnya karena dari tahun ke tahun hanya menambahkan bendera dan memiliki desain logo yang monoton.
 "Sesuatu yang dirayakan harusnya bersifat dinamis, berani untuk berubah" tulis Waditya dalam bukunya.
Beliau lalu membandingkan dengan desain logo kemerdekaan negara tetangga kita, Malaysia. Desain Logo negeri jiran ini, lebih sederhana, namun lebih kreatif dan berganti setiap tahunnya, sesuai dengan pemikiran Waditya yang mengatakan jika dalam merayakan harus ada perubahan.
Kritik ini baru didengar di tahun 2015, barulah di perayaan kemerdekaan yang 70 tahun, kita bisa melihat desain logo yang lebih sederhana, tanpa adanya banyaknya tumpukan bendera, sebuah langkah kreatif yang patut diapresiasi.