Mohon tunggu...
yudi howell
yudi howell Mohon Tunggu... Freelancer - Active Social Media User

Female, live in Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Stalking

9 Juni 2020   12:28 Diperbarui: 9 Juni 2020   13:09 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak pernah terbayangkan bahwa perkenalan pertamaku dengan Samuel yang hanya sekejap itu berlanjut ke tahap hubungan hingga sejauh ini. Kami bertemu ketika sama-sama menunggu pesawat berangkat di boarding lounge bandara baru di Yogyakarta. Perkenalan yang sederhana, tidak penuh basa-basi, mengalir ringan tanpa tekanan. 

Kalau kupikirkan kembali ada beberapa hal yang membuat kami waktu itu kemudian bertukar kartu nama mengakhiri pertemuan tidak sengaja itu. Kartu official sih. 

Kami sama-sama bergerak di bidang pendidikan, dan juga sama -sama alumni dari universitas tua di Inggris. Cerita kami banyak sekali, bertukar tawa dan keceriaan, tentang Inggris, tentang Brighton - salah satu kota terkenal di dekat London, yang juga dikenal sebagai surga kaum gay. 

Kami tidak pernah bertemu sebelumnya di Inggris walaupun berada dalam kampus yang sama karena memang aku jauh lebih dulu lulus daripada dia. Karena obrolan sangat menyenangkan, sampai kami tidak mengeluh sama sekali dengan penerbangan yang ditunda hingga 3 jam itu.

Sosok Samuel sedikit mirip Afgan Syahputra, penyanyi ganteng favoritku sepanjang masa, dari mulai lagu pertamanya yang berjudul Sadis, hingga lagu-lagu barunya dan Afgan yang mulai dewasa dengan pipi tirusnya. 

"Kamu mirip Afgan." kataku, waktu itu." Samuel tersenyum datar. Tampak seperti biasa mendengar kalimat seperti itu.

"Sudah kuduga. Orang banyak sering mengatakan begitu. Mestinya aku ikut lomba mirip artis ya." jawabnya.

Beberapa saat setelah itu, pengumuman tentang pesawat ke Jakarta sudah siap diberangkatkan membuat Samuel segera bergegas mengemasi tas ranselnya. Tapi tampak tiba-tiba teringat, dia membuka kembali ranselnya, mengambil dompet kecil dan mengeluarkan kartu kecil.

"Ini kartu namaku. Siapa tahu kita akan bertemu lagi ke depan." Dasar saya bukan perempuan biasa yang malu-malu, kuberikan balik kartu namaku, dan nomor handphone pribadi.

"Kamu bisa WA saya. Atau saya akan telpon kamu." kataku, tanpa tedeng aling-aling. Lugas. Jelas.

Samuel tertawa.  Bahkan lesung pipit Afgan pun ada di dia. Lalu kami berpisah di situ. 

***

Jawaban yang tidak kudengar dari dia atas ajakan berkomunikasi via handphone membuat aku mulai bertanya-tanya. Galau memenuhi pikiranku sepanjang hari sepanjang waktu. Kepalaku dipenuhi oleh Samuel. Gila, mungkin ini yang disebut sebagai jatuh cinta pada pandangan pertama. Mengapa tidak ada kata muncul darinya? Dia tidak suka aku? Dia enggan bertemu lagi? Dia sudah punya pacar  atau jangan-jangan malah sudah berkeluarga? Aduh aku kok cemburu begini? 

Pertanyaan-pertanyaan itu menghantuiku sepanjang waktu. Siapa sih Samuel? Apa sih dia? Kutimang-timang kartu namanya. Sampai kucel kartu nama Samuel karena terlalu sering keluar masuk dompet. Selalu ragu-ragu untuk memulai percakapan. Apakah dia mau mengangkat? Atau jangan-jangan dia sudah tidak ingat aku lagi.

Samuel Pranata, PhD. Ah...masih muda sekali. Hebat juga dia studi dengan beasiswa USA Fondation. Mulailah jiwa 'kepo' dan iseng bertumbuh, apalagi dengan handphone di tangan. 

Facebook terbuka. Kolom search jadi fokusku. Kuketik satu huruf demi huruf. Baru tiga huruf "SAM" sudah muncul banyak sekali nama. Kukerucutkan lagi dengan menambah huruf berikutnya. SAMUEL. Masih banyak. Untuk mempersingkat waktu kuketiklah semua nama lengkap. 

SAMUEL PRANATA, PHD. Jreng...jreng...Ada. Semangat mencari informasi tentang Samuel semakin membara. Dimulai dari  menu "about" dengan penuh harap, di sana tidak tertulis 'married'.  

Berdebar-debar mencari info itu. Ternyata tidak ada informasi apa pun. Ah siapa tahu aku menemukan ada perempuan yang selalu ada bersama dengan dari foto-fotonya. Mulailah kubuka foto di timelinenya. Wow...banyak sekali. dasar stalker kelas kakap, foto yang sebanyak itu dimulai dari tahun 2012 dimana dia pertama kali join di Facebook sampai dengan sekarang, kuamati satu persatu dan kubaca komen-komennya. 

Dan dengan bernafas lega - akhirnya- Samuel kuduga masih jomblo. Tidak kutemukan foto dan komen dari seorang perempuan yang sama, dengan pose yang dekat atau intim. Ada beberapa foto dia dengan seorang perempuan, tetapi berganti-ganti. Dari simbol-simbol non verbal ketika berfoto bersama, kuduga mereka hanya berteman.

Malam itu, sesudah stalking berjam-jam, kututup malam dan mulai tidur dengan doaku, "Tuhan, ijinkan aku mengenal Samuel lebih dekat.  Semoga dugaanku tentang Samuel tepat. Buatlah dia tetap jomblo, sampai aku datang menghampirinya, dan akulah yang mengubah status jomblo menjadi married."

***

Entah sejak kapan aku memanggil Samuel dengan nama Afgan. Sedangkan Afgan memanggilku Rossa. Bukan karena aku mirip Rossa, tetapi aku sendiri yang meminta Afgan memanggilku dengan Rossa supaya terlihat sebagai pasangan dekat, seperti halnya Afgan dan Rossa dalam realitas. Tetapi sekali pun kami akrab, tak seorang pun orang-orang di sekitar kami menduga kami berpacaran. Entah kenapa. Mungkin memang perilaku kami tidak menunjukkan pasangan romantis. 

Tetapi jujur saja, aku menginginkan kami menjalin relasi seperti itu walaupun itu tampaknya masih jauh untuk terwujud. Aku tidak bisa menebak apa yang Samuel pikirkan tentang aku. Kumenduga, apa yang dia pikirkan tidak senada dengan yang aku pikirkan tentang dia. Kadang-kadang aku merasa dia cemburu jika ada lelaki lain dekat denganku, kadang dia sangat gembira jika bertemu aku, kadang dia seperti berlaku romantis, tetapi perilaku yang berlawanan juga sering terjadi. 

Sering kami bertengkar untuk soal yang menurutku sepele. Sepele, karena mungkin bagi orang lain hal seperti itu tidak jadi persoalan. 

"Tolong deh Ross, kamu gak perlu unggah-unggah fotoku di medsos." Begitu Samuel chatting aku pagi-pagi.
"Loh emang kenapa? Semua orang memang tidak suka mengunggah sendiri fotonya. Lebih bergengsi jika diunggah oleh orang lain."
"Ya, aku tidak seperti kebanyakan orang."
"Tapi ini foto dokumentasi, bukan foto untuk narsis. Saya simpan di medsos supaya aman. Toh tak ada yang privat di situ. Malah bisa untuk promosi organisasi kamu dengan kegiatan yang kamu lakukan."
"Ya..tapi gak perlu pakai video."
"Tadi yang kamu persoalkan foto, sekarang video. Yang mana yang membuat berat?"
"Gak usah semuanya."
"Tapi ini dokumentasi sekaligus promosi. Jaman sekarang, promosi tidak perlu beriklan. Cukup dengan soft advertising kayak gini ini."
"Ah sudahlah. Pokoknya aku gak suka saja."

Lalu dalam beberapa hari dia menghilang. Tidak muncul baik nyata maupun maya. Dalam situasi begitu, biasanya di kepalaku akan bermunculan banyak pertanyaan. Ada apa dengan dia? Masih marahkah? Atau aku bukan prioritasnya? Atau dia sedang sibuk chatingan dengan cewek lain. Yang terakhir inilah yang membuat aku gundah gulana. 

Sering tidak bisa tidur nyenyak, makan tidak selera, bekerja juga tidak nyaman. Lalu aku selama ini dianggap apa jika pada akhirnya dia menjalin relasi dengan cewek lain? Kadang-kadang jika kulihat foto-fotonya yang terkumpul banyak di lap topku, air mata menitik tanpa sengaja. Sedih. Seperti kehilangan kekasih. Ah...kekasih...hubungan kami tidak jelas. HTS, kata anak remaja sekarang. Hubungan Tanpa Status. Tapi memang ada hubungan tanpa status? Siapa tahu Samuel menganggapku hanya teman, sementara aku berharap terlalu banyak. 

"Please, jangan panggil aku dengan Afgan lagi." suatu pagi tanpa masalah dia kirim pesan di Whatsapp.
Ah...pagi-pagi dia sudah bikin masalah.
"Kenapa baru sekarang kamu persoalkan?"
"Aku juga tidak akan memanggilmu Rossa." lanjutnya.
"Kenapa?"
"Aku gak suka aja."
"Kenapa baru sekarang kamu tidak suka dengan panggilan itu?"

Lalu chatnya menghilang beberapa hari. Selama itu pula aku tetap 'mengawasi' dirinya melalui unggahan dia atau foto atau komen dari orang lain yang di'tag'kan ke timeline. Hanya ada beberapa foto dan komentar, tetapi menurutku tidak penting. Serius...situasi seperti ini membuatku kangen sekali padanya. Tapi apa dia berpikir sama denganku ya? Dia kangen? Atau justru tidak memikirkan aku sama sekali? Oh Tuhan...sepertinya aku sudah jadi 'bucin' singkatan budak cinta, istilah remaja sekarang untuk menggambarkan perasaan tergila-gila pada orang lain. 

***

Kesibukanku yang bertumpuk-tumpuk membuatku pikiranku terbagi, tidak lagi melulu diisi oleh si 'Afgan'.  Agak tenang sebetulnya, walaupun kalau pas sendirian di rumah, bucin-ku muncul lagi dan menggila. Luar biasa. Kuakui... aku tetap jatuh cinta padanya sekalipun komunikasiku dengan Samuel terjadi untuk hal-hal yang penting saja. Hanya kali ini, Facebook-ku memberi tahu sesuatu. Postingan Samuel di sana. Terpampang nyata di depan mata. 

Empat foto besar-besar dirinya. Ya Tuhan...ini sih foto narsis. Ternganga dan kecemburuan yang luar biasa menghinggapiku. Ada apa dengan dia? Sedang jatuh cintakah sehingga akun medsosnya hidup lagi dengan postingan foto-foto diri. Jiwaku sebagai stalker sejati menggeliat lagi. Kupelototi dan kubaca pelan-pelan captionnya. Kalimat pertama...gak penting...kalimat ke dua gak penting. Kalimat ketiga..."Thanks ya, @Afgan Syahreza. Jepretannya bagus banget."  

Astaga....siapa Afgan? Afgan betulan? Kutarik lagi tatapanku ke bawah. Banyak sekali komen. Dan ada komen dari si Afgan Syahreza itu, "Sama-sama, kak."  Kakak? Memanggil Samuel dengan sebutan kakak? Samuel punya adik? Sepertinya tidak. Jadi siapa si adik Afgan ini? Jari-jariku ini langsung lincah menekan tombol klik pada nama Afgan Syahreza. Cover fotonya pemandangan alam. Gunung...bukit-bukit...sungai. Kugulung ke bawah....banyak sekali foto...Ya Tuhan...ya Tuhan....mataku melotot satu demi satu, foto demi foto...jantungku berhenti berdetak, darah berhenti mengalir, paru-paru berhenti memproduksi oksigen. Foto-foto itu.....foto berdua semua, Samuel dengan laki-laki yang dipanggilnya dengan Afgan Syahreza.  

Lemah lunglai semua otot-otot tubuhku. Limbung. Kakiku tidak lagi kuat menapak di lantai. Jiwaku seperti terbang dibawa badai, pontang-panting bagai layang-layang putus tali. Bagai daun kering terkoyak oleh angin, dan jatuh di sungai terbawa arus ke samudera raya. Handphoneku terjatuh, tapi aku sudah tidak punya rasa sekalipun harganya berjuta-juta. Aku tidak tahu harus apa. Saat itu yang ku ingin hanya satu,  ada di depanku terhampar air terjun yang tinggi, atau jurang terjal yang curam, atau berada di kabin pesawat kecil berbaling-baling di langit kelam. Dan, di situ aku berada di puncaknya, di ujung jurang atau di pintu pesawat...dan terjun bebas.

***

Yogyakarta, 9 Juni 2020
(Catatan: Stalking adalah istilah untuk aktivitas seseorang menelusuri sedalam-dalam dan sebanyak-banyaknya isi akun media sosial orang lain, secara sembunyi-sembunyi, tanpa diketahui oleh orang lain tersebut. Aktivitas pencarian informasi ini dilakukan dengan menggunakan smartphone)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun