Akuilah bila saat ini kita sedang tidak baik-baik saja. Dipaksa keadaan untuk terus waspada selama lebih dari delapan purnama bukan perkara mudah.
Sejak Maret lalu, pandemi Coronavirus Disease 2019Â (COVID-19) memaksa kita beradaptasi dan memodifikasi perilaku. Dunia yang selama ini dapat disentuh dan pertemuan fisik yang sebelumnya dapat dilakukan sedekat mungkin, kini menjauh.
Bahwa pandemi membuat aktivitas manusia jadi lebih terbatas, itu benar. Kita bertemu lewat gawai dan terlipat dalam silaturahmi maya.
Akibat pandemi, sebagian orang ada yang kehilangan anggota keluarga untuk selamanya, sebagian yang lain kehilangan mata pencaharian untuk menghidupi keluarga.
Dua ribu dua puluh adalah tahun yang berat untuk kita semua. Dunia berubah. Apakah masih ada harapan di masa sulit seperti ini?
Pandemi dan Kesehatan Mental
Taylor (2019), dalam buku Psychology of Pandemics, menjelaskan bahwa pandemi dapat memberikan dampak yang lebih signifikan secara psikologis dibandingkan dengan dampak fisik. Ada risiko munculnya kecemasan yang terkait dengan ancaman infeksi dan perubahan perilaku.Â
Pendapat ini pun dikuatkan oleh Profiling Risiko Psikologis COVID-19 di Indonesia. Hasil survei tersebut menunjukkan ada dua risiko psikologis akibat pandemi, yaitu munculnya ketidakpastian dan menghadirkan ancaman (Hakim, 2020).Â
Selain risiko tadi, ada empat aspek utama yang memicu tekanan psikologis. Keempat aspek tersebut adalah pembatasan sosial, kekurangan kebutuhan dasar, ancaman infeksi, dan penyesuaian perilaku (Hakim, 2020).Â
Dari 1.316 responden yang terlibat dalam survei ini, sebanyak dua puluh tujuh persen responden mengembangkan stres akut. Sementara responden yang lain mempersepsikan diri masih cukup mampu untuk mengelola situasi. Dalam kondisi yang penuh stres dan ketidakpastian, ketersediaan layanan psikologi menjadi sesuatu yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Tidak keliru bila World Federation for Mental Health mengangkat tema Mental Health for All: Greater Investment, Greater Access untuk memperingati Hari Kesehatan Mental Sedunia 2020 (WFMH, 2020). Kampanye yang diusung adalah tersedianya akses layanan kesehatan mental bagi siapa pun dan di mana pun di dunia ini.Â
Mungkinkan harapan ini terwujud? Sejujurnya cukup berat, tetapi bukan tidak mungkin dilakukan. Sebagai gambaran untuk layanan psikologi klinis di Indonesia, ketersediaan tenaga psikolog klinis yang bertugas di fasilitas pelayanan kesehatan dasar (puskesmas atau klinik) masih sangat terbatas.Â
Merujuk dari data Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (IPK Indonesia), per 12 Oktober 2020 tercatat ada 2.782 anggota IPK yang tersebar di seluruh Indonesia (IPK Indonesia, 2020).Â
Dari jumlah tersebut, lebih dari separuhnya berpraktik di Pulau Jawa. Sisanya tersebar di wilayah selain Jawa dengan penyebaran yang belum merata.
Dengan terbatasnya jumlah psikolog klinis dan belum meratanya distribusi praktik, apa yang dapat dilakukan untuk mewujudkan akses layanan kesehatan mental bagi semua orang?
Layanan Daring sebagai Dukungan Psikologis Awal
Ini jelas sangat berisiko bila dilakukan dalam kondisi pandemi. Alternatifnya, layanan psikologi dialihwujudkan secara daring lewat bantuan teknologi.Â
Bila kita berbicara dalam konteks kesehatan mental dan psikologi klinis, maka area layanan psikologi yang dimaksud adalah upaya promotif, preventif, kuratif, hingga rehabilitatif. Promosi isu kesehatan mental dapat dilakukan secara massal lewat media sosial atau kegiatan seminar daring.Â
Sementara isu kuratif yang harus ditangani secara individual dapat dilakukan lewat telepon, pesan teks, dan atau video. Pengecualian layanan psikologi tatap muka di masa pandemi dapat dikenakan terhadap kondisi darurat psikologis, seperti melukai diri sendiri, keinginan/percobaan bunuh diri, kehilangan kontrol diri (marah yang tak terkendali), masalah tidur selama lebih dari tiga hari berturut-turut, dan perasaan depresif/sedih mendalam tanpa sebab yang jelas (IPK Indonesia, 2020).
Kondisi darurat tentu tak dapat ditangani secara daring.
Layanan daring bukan isu baru dalam dunia psikologi. Namun sebelum pandemi, popularitas layanan daring belum mampu menyalip layanan luring.
Penyebabnya antara lain terkait isu etis kerahasiaan data klien, kualitas teknologi yang belum mendukung, akses teknologi informasi belum merata, dan aspek emosional yang tidak terobservasi optimal. Saat pandemi, layanan psikologi via daring menjadi primadona dan dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Sebagai contoh, Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) Wilayah Jawa Tengah sudah membuka konsultasi daring tanpa dipungut biaya sejak Maret 2020. Kemudian juga ada layanan daring yang diberikan oleh anggota Ikatan Psikolog Klinis Indonesia.Â
Melihat kebutuhan layanan yang makin meningkat, Kantor Staf Presiden bekerjasama dengan HIMPSI Pusat meluncurkan program Layanan Psikologi Sehat Jiwa (SEJIWA) di bulan Mei 2020.
Bila membutuhkan bantuan SEJIWA, masyarakat bisa mengakses nomor 119 ekstensi 8. Oleh operator, klien akan dihubungkan dengan relawan SEJIWA yang bertugas.
Jangan khawatir soal kemampuan para relawan. Seluruh relawan telah mendapatkan pelatihan intensif terkait bantuan psikologis awal dan sebagian besarnya merupakan psikolog.
Selain layanan konsultasi yang disediakan oleh organisasi profesi psikologi, ada juga layanan psikologi daring yang disediakan oleh swasta dan komunitas.
Beberapa layanan di mana saya juga terlibat di dalamnya adalah Kariib Konseling Online dan Komunitas Psikoberbagi Semarang. Jadi tak usah larut diselimuti lara. Anda punya banyak pilihan untuk mengakses layanan psikologi secara daring dan dapat dilakukan sesuai perjanjian.
Kapan Saya Harus Konsultasi ke Psikolog?
Konsultasi ke psikolog tak perlu menanti kondisi darurat psikologis seperti yang saya uraikan di atas. Layanan psikologi dan psikiatri bukan hal tabu. Bahkan psikolog dan psikiater pun dapat berkolaborasi untuk membantu klien dengan problem kesehatan mental.Â
Bantuan kesehatan mental merupakan hak asasi setiap manusia dan sama pentingnya dengan layanan kesehatan fisik. Segeralah mencari bantuan profesional bila Anda berada dalam situasi berikut:
1. Mengalami perubahan pikiran, emosi, dan perilaku ke arah negatif (tanpa ada tanda perbaikan) lebih dari tujuh hari berturut-turut,
2. Mengalami hambatan yang signifikan selama tujuh hari terakhir terhadap fungsi peran Anda dalam keluarga, pekerjaan / pendidikan, dan sosial. Contohnya: Masalah emosi membuat Anda tak mampu menyelesaikan pekerjaan di kantor dan atau di rumah.
Bila 2020 terasa begitu berat untukmu, bertahanlah. Segeralah akses bantuan psikologi kala kesehatan mentalmu tak lagi optimal. Sayangi jiwa Anda, karena Anda begitu berharga.
Selamat hari kesehatan mental sedunia, mari kita wujudkan akses layanan kesehatan mental tanpa stigma untuk semua orang.
Penulis merupakan penyintas Covid-19 dan psikolog klinis yang tergabung dalam relawan SEJIWA HIMPSI dan Satgas Pendampingan Psikologi untuk Covid-19 Ikatan Psikolog Klinis Indonesia.
Daftar Referensi
Hakim, M. A. (2020). Profiling Risiko Psikologis COVID-19 di Indonesia. Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.
IPK Indonesia, I. P. K. I. (2020). Jumlah Anggota Ikatan Psikolog Klinis Indonesia. ipkindonesia.or.id
Taylor, S. (2019). The psychology of pandemics: Preparing for the next global outbreak of infectious disease. Cambridge Scholars Publishing.
WFMH, W. F. of M. H. (2020). WORLD MENTAL HEALTH DAY 2020 Mental Health for all: Greater Investment-Greater Access.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI