Mohon tunggu...
Yudi Kurniawan
Yudi Kurniawan Mohon Tunggu... Administrasi - Psikolog Klinis, Dosen

Psikolog Klinis | Dosen Fakultas Psikologi Universitas Semarang | Ikatan Psikolog Klinis Indonesia | Contact at kurniawan.yudika@gmail.com | Berkicau di @yudikurniawan27 |

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kekerasan Seksual dalam Pusaran Relasi Kuasa

2 Agustus 2020   15:28 Diperbarui: 2 Agustus 2020   18:11 1514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi korban kekerasan seksual (KOMPAS.com/LAKSONO HARI WIWOHO)

Siapapun dapat menjadi korban, siapapun dapat menjadi pelaku. Berikan dukungan bagi korban dan setop stigma yang memberatkan upaya korban untuk memperoleh keadilan. Pelaku pun tetap harus dihukum secara adil dan proporsional.

Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual, yaitu:

  • Bila didekati oleh orang yang tidak dikenal, tahan diri untuk tidak menanggapi terlalu dalam. Gunakan mesin pencari untuk mengetahui gambaran profil orang tersebut.
  • Hindari memberikan data pribadi (nomor telepon, surel, KTP, alamat) kepada orang yang baru dikenal dan tidak diketahui kredensialnya.
  • Berani mengatakan TIDAK untuk sesuatu yang tidak lazim atau kita sendiri masih ragu dengan permintaan tersebut. Berani menolak sesuatu bukanlah sebuah kesalahan. Menjadi YES PEOPLE tidak selamanya baik.

Bila sudah menjadi korban, apa upaya yang dapat dilakukan? Cobalah mencari bantuan lewat lembaga bantuan hukum yang dipercaya di wilayah Anda. Korban perempuan dapat mengunjungi pusat pelayanan terpadu perlindungan perempuan dan anak atau Women Crisis Center di kota masing-masing. 

Bagi korban laki-laki, tak ada salahnya bila Anda berkonsultasi dengan profesional kesehatan mental seperti psikolog atau psikiater terlebih dahulu.

Bila memang ingin membawa kasus ke ranah hukum, korban pasti akan dibantu untuk berkonsultasi dengan lembaga bantuan hukum setempat. Speak up lewat media sosial adalah jalur terakhir bila semua upaya tak berbuah hasil. Risiko berbagi hal sensitif di media sosial terlalu besar dan dapat menjadi bumerang bagi korban bila tak siap menghadapinya.

Melihat makin maraknya kasus kekerasan seksual, sudah seharusnya ada regulasi yang mengatur secara khusus mengenai mekanisme pelaporan korban bila kasus terjadi di institusi tertentu. Misalnya, mekanisme pelaporan kasus kekerasan seksual di universitas, sekolah, kantor pemerintah, perusahaan swasta, dan lain-lain. 

Keberadaan regulasi dan mekanisme pelaporan menjadi penting karena institusi merupakan lembaga yang pasti memiliki relasi kuasa dalam hubungan antar anggotanya. Padahal relasi kuasa merupakan faktor yang dapat memperburuk kondisi mental korban kekerasan seksual. Tanpa regulasi yang berpihak pada korban, kecil harapan kasus kekerasan seksual dapat terungkap. Bila kasus tak terungkap, korban nestapa, pelaku makin digdaya. Menyakitkan bukan?

Majalah National Geopgraphic Indonesia edisi Agustus 2020 membuat reportase menarik tentang praktik kekerasan seksual ("ianfu") yang dilakukan pada masa penjajahan Jepang di Indonesia terhadap perempuan yang mayoritas berasal dari Pulau Jawa. Kasus ini baru terbongkar pada tahun 1992 lewat kesaksian penyintas yang berani bersuara atas kekerasan seksual yang dialami olehnya pada tahun 1942 (Hindra, 2020). 

Bayangkan, butuh lima puluh tahun untuk mengungkapnya. Di masa keterbukaan informasi seperti sekarang, jangan sampai terjadi lagi hal seperti itu. Kita harus bergerak bersama demi adanya regulasi untuk mencegah terjadinya kasus yang sama di masa depan, sekaligus melindungi hak korban. Setop manipulasi relasi kuasa demi hasrat seksual yang tak bisa dikelola.  

Daftar Referensi

  • Farid, M. R. A. (2019). Kekerasan terhadap Perempuan dalam Ketimpangan Relasi Kuasa: Studi Kasus di Rifka Annisa Women's Crisis Center. Sawwa: Jurnal Studi Gender, 14(2), 175--190.
  • Hindra, E. (2020, Agustus). Nestapa Nona Djawa. Majalah National Geographic Indonesia, 33.
  • Kementerian PPPA. (2020). Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA). 
  • Magee, B. (2012). The Story of Philosophy. Kanisius.
  • Milgram, S. (1963). Behavioral Study of obedience. The Journal of Abnormal and Social Psychology, 67(4), 371--378. 
  • Nevid, Jeffrey. S., Rathus, Spencer. A., & Greene, B. (2018). Psikologi Abnormal di Dunia yang Terus Berubah: Vol. Jilid II (Edisi Kesembilan). Penerbit Erlangga.
  • Olson, M. H., & Hergenhahn, B. (2013). Pengantar teori-teori kepribadian. Terj. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  • Russell, N. J. C. (2011). Milgram's obedience to authority experiments: Origins and early evolution. British Journal of Social Psychology, 50(1), 140--162.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun