Kasus kejahatan seksual terhadap anak tak pernah surut. Merujuk data yang dipublikasikan oleh Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) yang dikeluarkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA), terdapat  6.681 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak pada periode Januari hingga Juli 2020 di Indonesia (data diakses pada 14 Juli 2020).Â
Dari jumlah tersebut, mayoritas korban (2.199 kasus atau sekitar 33 persen dari total kasus) berada pada rentang usia 13-17 tahun. Ini adalah rentang usia anak di jenjang SMP dan SMA. Salah satu jenis kekerasan yang banyak dialami oleh korban adalah kekerasan seksual, dengan jumlah 1.957 kasus (Kementerian PPA, 2020).
Sejalan dengan data tersebut, ada dua kasus kekerasan seksual terhadap anak yang menyita perhatian publik di awal Juli ini. Kasus pertama adalah perkosaan terhadap anak perempuan yang dititipkan di rumah aman Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Lampung Timur.Â
Ironisnya, pemerkosa adalah petugas di P2TP2A itu sendiri (Bustomi, 2020). Kasus kedua adalah kekerasan seksual yang dilakukan oleh WNA asal Prancis terhadap 305 anak di Jakarta. Korban dijanjikan oleh pelaku akan dijadikan sebagai model. Namun yang didapatkan korban adalah kekerasan fisik dan seksual dari pelaku (Rachmawati, 2020).
Kasus kejahatan seksual terhadap anak yang mencuat di media massa merupakan puncak gunung es dari banyaknya kasus lain yang tak terungkap. Ada banyak faktor penghambat yang membuat anak tak mampu berbuat apa-apa untuk membantu dirinya keluar dari kasus tersebut.
Mulai dari masalah ekonomi, minimnya kemampuan komunikasi, ketidakpercayaan dari orang dewasa, hingga yang paling utama adalah relasi kuasa yang dimiliki oleh pelaku dewasa terhadap korban. Pada banyak kasus, pelaku kejahatan seksual justru orang yang dekat dengan korban. Misalnya saja tetangga, teman, saudara, bahkan orangtua.
Kementerian PPPA mengangkat tema "Peran Keluarga dalam Perlindungan Anak" saat Hari Anak Nasional 2019 lalu (Suyanto, 2019). Pembahasan tema ini menjadi sangat kontekstual karena banyak kasus di mana oknum keluarga yang diharapkan menjadi pelindung utama keselamatan anak, justru mengancam keselamatan anak (Suyanto, 2019).
Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja yang dirilis oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memberikan hasil yang membuat hati miris: tiga dari lima anak perempuan dan satu dari dua anak laki-laki mengalami kekerasan emosional. Kemudian satu dari sebelas anak perempuan dan satu dari tujuh belas anak laki-laki pernah mengalami kekerasan seksual (KPAI, 2017). Mayoritas pelaku merupakan orang yang dekat dengan anak (tetangga dan keluarga). Melihat informasi tersebut, lingkungan terdekat dapat menjadi ancaman terbesar bagi keselamatan anak. Apa tindakan pencegahan yang dapat kita lakukan?Â
Edukasi Komunitas untuk Perlindungan Anak
Di bulan Mei lalu, penulis melakukan pendampingan psikologi terhadap anak perempuan berusia 15 tahun yang mengalami kekerasan seksual dari ayah tirinya. Korban takut mengadu pada ibunya karena khawatir pelaku akan melakukan kekerasan fisik kepada ibunya.