Pemerintah telah telah mengupayakan regulasi yang berpihak terhadap hak-hak ODGJ, salah satunya lewat Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Pasal 148 menyebutkan bahwa ODGJ memiliki hak yang sama sebagai warga negara dalam setiap aspek kehidupan, kecuali peraturan perundang-undangan menyatakan lain. Ketentuan ini menegaskan bahwa posisi ODGJ setara dengan warga negara yang lain, termasuk memilih pemimpin dalam pemilu.
Perlu dipahami bahwa masalah kejiwaan bukan keadaan yang menetap seumur hidup. Kondisi emosi dan perilaku manusia sangat dinamis. Dengan demikian, gangguan kejiwaan dapat dipulihkan. Stigmalah yang membuat ODGJ menjadi tertekan dan tidak mampu pulih dari masalah yang mereka alami. Sama halnya dengan penyakit fisik, masalah kesehatan jiwa dapat dikontrol. Seseorang yang didiagnosis mengalami gangguan kejiwaan sangat mungkin pulih dan mampu berkontribusi positif untuk lingkungannya. Sebaliknya, seseorang yang sekarang merasa baik-baik saja, bisa jadi suatu saat mengalami masalah kejiwaan.
Kesimpulannya, KPU mengambil kebijakan yang tepat dengan melindungi hak pilih ODGJ. ODGJ yang berada dalam fase kambuh tentu tidak mampu menggunakan hak pilihnya. Gangguan kejiwaan bersifat episodik dan ada fase di mana ODGJ mampu mengontrol perilaku dan emosi mereka. Kemampuan ODGJ untuk pulih ditentukan oleh dukungan sosial dan konsistensi mereka dalam menjalani farmakoterapi. Hargai ODGJ sebagai sesama manusia. Jangan panggil mereka dengan sebutan "gila". Setop stigma terhadap ODGJ.
Semarang, 3 Desember 2018.