Mohon tunggu...
Yudi Kurniawan
Yudi Kurniawan Mohon Tunggu... Administrasi - Psikolog Klinis, Dosen

Psikolog Klinis | Dosen Fakultas Psikologi Universitas Semarang | Ikatan Psikolog Klinis Indonesia | Contact at kurniawan.yudika@gmail.com | Berkicau di @yudikurniawan27 |

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Ancaman Berita Hoax terhadap Kesehatan Mental

20 Maret 2017   15:37 Diperbarui: 20 Maret 2017   15:47 3611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berita hoax atau berita bohong tak henti-hentinya meresahkan masyarakat. Setelah tensi Pilkada agak menurun, muncul berita hoax bernada ujaran kebencian terhadap kelompok tertentu. Saat ini mudah sekali menemukan ujaran provakatif satu kelompok terhadap kelompok lainnya di dunia maya. Perbedaan kecil pun akan dengan mudah menyulut perselisihan.

Ketidakcermatan kita dalam memilah informasi berperan besar mengantarkan berita hoax itu masuk dari satu ponsel ke ponsel yang lain. Orang yang tak ingin tahu pun terkadang ikut membaca karena masifnya informasi di dunia maya. Tapi tahukah Anda bahwa mengonsumsi berita hoax dan provokatif amat berbahaya terhadap kesehatan mental?

Saya pernah mendapat surel (surat elektronik/e-mail,red), sebutlah dari Mr. X. Tidurnya tak lagi nyenyak dan dia sangat cemas ketika ada notifikasi pesan di grup obrolan ponselnya. Keluhan psikologis itu ternyata dipicu oleh informasi hoax. Sebelumnya, Mr X pernah menegur temannya yang meneruskan berita hoax di grup obrolan dunia maya. Ternyata rekan tersebut tersinggung dan balik menuduh Mr. X sebagai orang yang tidak peka dengan masalah sosial. Adu argumentasi berlanjut hingga salah satu dari mereka meninggalkan grup obrolan. Mr. X tak habis pikir mengapa sebuah hubungan bisa rusak karena perbedaan perspektif tentang satu informasi. Barangkali kita pun pernah mengalami situasi serupa Mr. X.

Informasi provokatif dan ujaran kebencian memang bertujuan mempertajam perbedaan antar kelompok. Dalam kehidupan sehari-hari, kita cenderung mengidentifikasi diri berdasarkan kelompok sosial. Adalah sesuatu yang wajar karena pada dasarnya manusia memang makhluk sosial. Namun identifikasi itu dapat menjadi masalah besar ketika ada pemberian label negatif terhadap kelompok tertentu untuk kemudian disiarkan secara masal dan masif. Jika informasi itu terus menerus diterima, secara sadar maupun tidak, kita pelan-pelan akan meyakininya sebagai kebenaran. Hasilnya, prasangka sosial makin kuat dan kesehatan mental pun terganggu.

Berita Hoax dan Kesehatan Mental

Banjir berita hoax dan provokatif di membuat kita semakin sering melakukan proses identifikasi diri. Ada tiga hal yang kita lakukan sebelum mengidentifikasi diri, pertama adalah kategorisasi, kedua adalah identifikasi, dan yang ketiga adalah membandingkan. Saat menerima informasi, kita akan menyederhanakan dunia sosial dengan menggolongkan berbagai hal yang dianggap memiliki kesamaan karakter ke dalam satu kelompok tertentu. Pengelompokan sosial yang sering dilakukan adalah berdasarkan ras (ciri fisik), etnik (adat, budaya, tradisi), agama dan keyakinan, serta status sosial. Informasi yang berseliweran tentang salah satu calon kepala daerah misalnya, akan menggiring persepsi kita terhadap kategori tertentu tentang mereka.

Proses kedua adalah identifikasi. Kita akan memasukkan diri sendiri ke dalam salah satu kelompok, yang kemudian akan menciptakan persepsi ingroup (kelompokku) dan outgroup(kelompokmu). Persepsi ini mulai membangkitkan prasangka sosial terhadap orang-orang yang berada di luar kelompoknya. Dan fenomena inilah yang terjadi di beberapa kelompok masyarakat kita. Prasangka sosial yang tidak segera diredakan akan memicu perbandingan sosial yang fokus pada perbedaan kelompok. Tak heran bila sekarang ujaran kebencian terhadap individu maupun kelompok tertentu amat mudah ditemukan.

Proses ketiga adalah membandingkan. Kelompok ingroup cenderung memandang rekan-rekannya lebih baik, lebih menyenangkan, dan lebih positif dibandingkan kelompok di luar mereka. Ini juga menjelaskan mengapa kerap terjadi tindakan anarkis oleh geng siswa SMA. Berita hoax, info provokatif, dan ujaran kebencian ibarat menyiram bensin di atas bara perselisihan kelompok yang memang sudah ada sejak lama. Jika dibiarkan, masyarakat akan hidup dalam prasangka sosial, mengembangkan stereotip, dan rentan terpapar masalah mental. Kita dikatakan sehat mental jika mampu menyeimbangkan kesehatan fisik, emosional, sosial, dan spiritual. Dengan demikian, rasa curiga tanpa alasan terhadap kelompok tertentu adalah indikasi masalah mental yang cukup serius.

Psychological First Aid untuk Korban Berita Hoax

Bagaimana cara mengurangi dampak negatif berita hoax terhadap kesehatan mental? Selain dengan cara memfilter berita, kita juga bisa melakukan Psychological First Aid(PFA). Apa itu PFA? Sederhananya, PFA adalah pertolongan psikologis dasar yang dapat diberikan oleh non-profesional di bidang kesehatan mental terhadap mereka yang mengalami masalah psikologis. PFA bukan upaya konseling atau tindakan intervensi kesehatan mental secara profesional, sehingga masyarakat awam pun dapat melakukan PFA. 

PFA merupakan salah satu langkah yang dapat dilakukan oleh orang awam untuk membantu mereka yang mengalami masalah psikologis agar kondisi itu tidak menjadi gangguan psikologis berat. Masalah psikologis bisa terjadi pada siapa saja, tidak peduli rentang usia, jenis kelamin, dan status sosial. Sama halnya seperti kotak P3K yang tersedia hampir di setiap rumah ataupun kendaraan, pengetahuan tentang PFA idealnya dimiliki oleh setiap orang.

PFA bertujuan untuk memberikan bantuan dan dukungan psikologis kepada mereka yang baru saja mengalami situasi tidak menyenangkan. Biasanya PFA diberikan kepada survivor (penyintas) bencana alam, penyintas peperangan, penyintas KDRT/kejahatan seksual, atau kepada mereka yang baru kehilangan salah satu anggota keluarganya. Lalu apakah berita hoax termasuk situasi tidak menyenangkan? Ya, jika pembaca merasa terganggu pikiran dan perasaannya sebagai dampak menyebarnya informasi sampah itu. Contohnya seperti Mr. X yang saya ceritakan di awal.

Menurut WHO, ada tiga prinsip aksi dalam PFA, yaitu look, listen, dan link. Look adalah prinsip aksi mencermati situasi dan kondisi sekitar, apakah cukup aman atau tidak bagi seseorang. Anda bisa memastikan bahwa seseorang berada di tempat aman dan jauh dari pihak/kondisi yang mungkin membuatnya tidak nyaman. Anda bisa mulai dengan mengidentifikasi orang di sekitar yang tidak nyaman dengan info hoax/provokatif. Seperti contoh Mr.X, beberapa orang yang tidak nyaman dengan informasi hoax bisa menunjukkan gejala kecemasan dan panik.

Langkah kedua adalah Listen, yaitu prinsip aksi mendengarkan dengan perhatian penuh, apabila orang tersebut memang mau bercerita. Jika masalah emosional yang disebabkan oleh informasi hoax cukup berat, Anda dapat melakukan prinsip Link. Hubungkan orang yang terdampak informasi hoax dengan profesional di bidang kesehatan mental.

Kunci penting saat melakukan PFA adalah peka terhadap situasi sekitar. Misalnya, Anda melihat seorang teman yang dulunya periang, tapi kini mulai sering menyendiri dan mengurangi interaksi sosial. Perubahan sikap yang terjadi pada orang di sekeliling kita merupakan indikasi adanya perasaan tidak nyaman. Jika dibiarkan berlarut, bukan tidak mungkin seseorang yang awalnya sehat mental menjadi bermasalah mental.

Berita hoax ataupun ujaran kebencian yang tersebar masif adalah ancaman nyata terhadap kesehatan mental masyarakat Indonesia. Masyarakat yang tidak sehat mental tentu saja kontraproduktif terhadap cita-cita besar bangsa Indonesia. Belum genap dua dekade yang lalu negeri kita pernah dilanda konflik etnis yang salah satu sebabnya adalah provokasi dari prasangka sosial. Tentu kita tak mau tragedi memilukan terulang kembali. Kita perlu belajar untuk tidak reaktif dalam menanggapi sebuah informasi. Selalu verifikasi berita apa pun yang diterima, lebih-lebih bila pilihan kata dalam berita itu sangat tendensius, provokatif, dan menyerang individu tertentu.

Tak perlu membenci seseorang hanya karena perbedaan ideologi dan keyakinan. Kebencian hanya akan menyuburkan penyakit mental dan membuat kita tak lagi kenal kedamaian. Pemerintah perlu membuat regulasi khusus untuk menangani berita hoax dan provokatif. Masyarakat pun perlu urun andil untuk bersikap kritis terhadap berita hoax, peka terhadap perasaan orang lain, dan menghindari prasangka negatif terhadap kelompok tertentu. Semoga kita dapat hidup berdampingan dalam kerukunan, kedamaian, dan keragaman budaya Indonesia.

Salam damai dan sehat mental untuk Indonesia.

Artikel ini pernah dimuat di Majalah Komunika Universitas Terbuka #63 Edisi Februari 2017.

Referensi Bacaan:

Sarwono, S.W. (2006). Psikologi Prasangka Orang Indonesia: Kumpulan Studi Empirik Prasangka dalam Berbagai Aspek Kehidupan Orang Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

World Health Organization. (2016). Psychological First Aid for All: Supporting People in The Aftermath of Crisis Events.World Mental Health Day 2016.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun