PFA bertujuan untuk memberikan bantuan dan dukungan psikologis kepada mereka yang baru saja mengalami situasi tidak menyenangkan. Biasanya PFA diberikan kepada survivor (penyintas) bencana alam, penyintas peperangan, penyintas KDRT/kejahatan seksual, atau kepada mereka yang baru kehilangan salah satu anggota keluarganya. Lalu apakah berita hoax termasuk situasi tidak menyenangkan? Ya, jika pembaca merasa terganggu pikiran dan perasaannya sebagai dampak menyebarnya informasi sampah itu. Contohnya seperti Mr. X yang saya ceritakan di awal.
Menurut WHO, ada tiga prinsip aksi dalam PFA, yaitu look, listen, dan link. Look adalah prinsip aksi mencermati situasi dan kondisi sekitar, apakah cukup aman atau tidak bagi seseorang. Anda bisa memastikan bahwa seseorang berada di tempat aman dan jauh dari pihak/kondisi yang mungkin membuatnya tidak nyaman. Anda bisa mulai dengan mengidentifikasi orang di sekitar yang tidak nyaman dengan info hoax/provokatif. Seperti contoh Mr.X, beberapa orang yang tidak nyaman dengan informasi hoax bisa menunjukkan gejala kecemasan dan panik.
Langkah kedua adalah Listen, yaitu prinsip aksi mendengarkan dengan perhatian penuh, apabila orang tersebut memang mau bercerita. Jika masalah emosional yang disebabkan oleh informasi hoax cukup berat, Anda dapat melakukan prinsip Link. Hubungkan orang yang terdampak informasi hoax dengan profesional di bidang kesehatan mental.
Kunci penting saat melakukan PFA adalah peka terhadap situasi sekitar. Misalnya, Anda melihat seorang teman yang dulunya periang, tapi kini mulai sering menyendiri dan mengurangi interaksi sosial. Perubahan sikap yang terjadi pada orang di sekeliling kita merupakan indikasi adanya perasaan tidak nyaman. Jika dibiarkan berlarut, bukan tidak mungkin seseorang yang awalnya sehat mental menjadi bermasalah mental.
Berita hoax ataupun ujaran kebencian yang tersebar masif adalah ancaman nyata terhadap kesehatan mental masyarakat Indonesia. Masyarakat yang tidak sehat mental tentu saja kontraproduktif terhadap cita-cita besar bangsa Indonesia. Belum genap dua dekade yang lalu negeri kita pernah dilanda konflik etnis yang salah satu sebabnya adalah provokasi dari prasangka sosial. Tentu kita tak mau tragedi memilukan terulang kembali. Kita perlu belajar untuk tidak reaktif dalam menanggapi sebuah informasi. Selalu verifikasi berita apa pun yang diterima, lebih-lebih bila pilihan kata dalam berita itu sangat tendensius, provokatif, dan menyerang individu tertentu.
Tak perlu membenci seseorang hanya karena perbedaan ideologi dan keyakinan. Kebencian hanya akan menyuburkan penyakit mental dan membuat kita tak lagi kenal kedamaian. Pemerintah perlu membuat regulasi khusus untuk menangani berita hoax dan provokatif. Masyarakat pun perlu urun andil untuk bersikap kritis terhadap berita hoax, peka terhadap perasaan orang lain, dan menghindari prasangka negatif terhadap kelompok tertentu. Semoga kita dapat hidup berdampingan dalam kerukunan, kedamaian, dan keragaman budaya Indonesia.
Salam damai dan sehat mental untuk Indonesia.
Artikel ini pernah dimuat di Majalah Komunika Universitas Terbuka #63 Edisi Februari 2017.
Referensi Bacaan:
Sarwono, S.W. (2006). Psikologi Prasangka Orang Indonesia: Kumpulan Studi Empirik Prasangka dalam Berbagai Aspek Kehidupan Orang Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
World Health Organization. (2016). Psychological First Aid for All: Supporting People in The Aftermath of Crisis Events.World Mental Health Day 2016.