Sulit memang untuk membedakan antara lapangan bola dan kebun binatang. Penghinaan yang luar biasa dihadapi pemain-pemain berkulit hitam di Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI) yang bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Pada Agustus 2019, legenda sepak bola Indonesia asal Papua, Boaz Theofilius Erwin Solossa atau yang kerap disapa Boaz Solossa sempat menyinggung kedudukan seseorang lewat pertanyaan satire dengan perumpaan monyet dan manusia. Boaz menanyakan pihak mana yang lebih patut dihargai.
Boaz sempat mengunggah sebuah postingan di story instagram pribadinya "Lebih terhormat mana? 1. Monyet cari ilmu di rumah manusia atau 2. Manusia cari makan di rumah monyet?".
Unggahannya kala itu sempat viral namun dihapus. Kekesalan Boaz ini dipicu karena adanya insiden pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya pada bulan tersebut.
Pasalnya, pelaku rasisme acap tak mendapat hukuman yang tegas. Padahal, untuk menghentikan praktek rasisme, dibutuhkan penegakan aturan yang tidak pandang bulu dan keberpihakan. Tak perlu takut dianggap kejam atau kelewat batas. Toh, tindakan dari para pelaku rasisme juga sudah berlebihan dan tak manusiawi.
Pada akhirnya catatan saya ini, Ada kemiripan antara kasus George Floyd di AS dan orang Papua di Indonesia: sama-sama menjadi korban rasisme sistemik yang mengarah pada kekerasan itu umumnya dilakukan oleh aparat negara.
Tak mengapa bila kesadaran atas rasisme terhadap orang Papua baru bisa "meledak" oleh karena dipantik kasus rasisme di luar negeri. Belum terlambat bagi kita untuk menyeruakan isu anti-rasisme saat ini dan bersolidaritas bagi pesepakbola asal Papua atas nama kemanusiaan. ***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI