Mohon tunggu...
Yudi Hardi Susilo
Yudi Hardi Susilo Mohon Tunggu... Apoteker - Master of Clinical Pharmacy

Pernah belajar tentang obat dan racun

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Retak

29 Januari 2017   17:20 Diperbarui: 29 Januari 2017   17:34 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="retak"][/caption]

Menunggu...

Kursi kayu panjang berwarna putih yang aku duduki ini semakin tidak nyaman rasanya. Keras. Aku pun sesekali berdiri dan melemaskan kaki yang kaku dan pegal.

"Dapat antrian nomor berapa mbak?" tanya wanita yang tadi duduk di sebelahku.

"Mmm... nomor lima empat, dik. Dua orang lagi giliran saya sepertinya."jawabku sambil berdiri.

Sudah ketiga kalinya aku datang ke tempat ini. Rumah praktek dokter spesialis kulit dan kelamin yang cukup jauh dari pusat kota, namun banyak pasiennya. Dokternya ramah dan bayarnya murah buat pekerja tidak tetap seperti aku.

"Ibu Eli?" suara perawat dokter sambil menghampiriku. "Silakan masuk bu, pak dokter sudah menunggu di dalam."kata perawat lagi.

"Terima kasih mbak."aku pun segera masuk ruangan dengan penuh cemas. Penyakitku ini sudah sering kambuh dan dokter juga sudah sering memarahiku karena aku tidak patuh minum obat dan tidak juga mengubah gaya hidupku. Kedatanganku cuma ingin dapat resep dokter agar aku bisa menebus obat di apotek dan supaya rasa sakit sedikit berkurang.

**

Sejak retaknya rumah tanggaku, hidupku jadi tak menentu. Pria yang kunikahi dulu lebih memilih selingkuhannya yang sekantor dengannya. Aku pun kalah terusir dari kehidupan yang dulu pernah jadi mimpi indahku. Alasannya sederhana yaitu SEKS. Katanya sih aku tidak bisa melayani suami dengan baik, gaya seks aku payah dan banyak lagi alasan yang konon membuat suamiku selingkuh. Aku tidak ambil pusing. Sendiri bukan berarti tidak bisa hidup. Di depan suamiku, aku bersumpah, akan kubuat sebanyak mungkin lelaki yang kutemui menjadi puas saat bermain seks denganku. Dan semenjak itu, nama Sri Asmah pemberian orang tuaku, telah terkubur dalam bumi. Kini aku dikenal, dalam pergaulan malam yang tak pernah terbayang sebelumnya, dengan nama Eli. Tepatnya Miss Eli. 

**

Obat dari dokter ini, telah sangat membantuku bertahan hidup. Pekerja malam sepertiku harus bisa mengandalkan diri sendiri. Aku tak begitu bernafsu untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya namun dari pemberian pelangganku sudah lebih dari cukup. Hidupku hanya untuk menjalankan sumpah itu. Tak peduli itu suami orang, kekasih sahabat atau pejabat negara sekalipun. Kebanyakan mereka yang memakai aku, juga mengeluhkan tentang istri yang tidak lagi memuaskannya. Ada juga yang sering keluar kota bertemu dengan selingkuhannya yang juga seorang rekanan pengadaan. Namun bila lagi di Jakarta, dia selalu minta bertemu di bandara, seks singkat gitu ceritanya.

**

Menjadi pemuas nafsu lelaki di setiap malam, tak membuatku ikut menikmati kepuasan itu. Setiap kali selesai kerja, aku terkadang tersenyum bahwa aku tak sendiri. Semua lelaki di dunia ini sama. Mereka hanya memikirkan perut dan dibawah perut. Istri-istri yang setia itu tidak pernah tahu kalau suami-suaminya telah juga mencumbuiku berkali-kali. Alasan lembur dan banyak proyek yang harus dikerjakan di kantor begitu mudah diterima oleh para istri itu. 

**

"Eli, malam ini ada klien gak?" tanya mamiku yang biasa jadi perantaraku dengan pelanggan.

"Gak mi. Kenapa?"

"Ada yang mau booking satu malam. Namanya Dedi. Berani mahal dia "kata mami semangat.

Dedi? Kok seperti nama mantan suamiku dulu sih. Ah, gak mungkin. Dia khan sudah hepi sama istri barunya. Tapi apa salahnya aku terima orderan ini.

"Oke mami. Aku terima. Jam 11 malam ya, aku nanti datang ke hotelnya." kataku memastikan.

**

Tepat jam 11 malam. 

Aku mengetuk pintu kamar 213 di hotel bintang 4 yang menjadi tempay menginap pria bernama Dedi yang telah booking aku. 

"Masuk."suara dari dalam kamar yang lampunya sudah dipadamkan sebagian sehingga suasana agak remang-remang. 

Pintu tidak dikunci dan aku masuk tanpa ragu.

"Eli yaa?"tanya pria itu. Di atas ranjang sudah berbaring pria yang sepertinya aku kenal dan benar, dia adalah Dedi mantan suamiku dulu. Tapi rupanya dia tidak mengenali aku dengan penampilan baruku.

"Iya mas. Langsung saja ya." jawabku.

Malam itu, mantan suamiku benar-benar tidak mengenali aku. Tenaganya juga lemah tak seperti dulu. Begitu selesai langsung tertidur. Biasanya akupun langsung pulang, tapi kali ini tidak, aku cari ponselnya selagi dia tertidur, dan ketemu. Di kontak ponselnya ada nama istri barunya. Aku lalu keluar kamar, sambil menelpon istri barunya.

"Halo mas Dedi dimana?" terdengar suara istrinya di ujung telepon.

"Mas Dedi, lagi tertidur pulas, setelah puas bermain seks sama aku." aku jawab singkat lalu kututup ponselnya, kumatikan dan kemudian aku kembalikan lagi ke saku baju seperti sediakala.

Aku pun tersenyum puas.

Pulang. 

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun