Mohon tunggu...
Yudi Hardi Susilo
Yudi Hardi Susilo Mohon Tunggu... Apoteker - Master of Clinical Pharmacy

Pernah belajar tentang obat dan racun

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rahasia Perasaan Wanita

29 Desember 2016   11:19 Diperbarui: 29 Desember 2016   11:28 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(bagian ketiga dari "Sayap Kecil Darimu)

Gelisah.

Semakin lama menunggu, semakin aku tidak bisa menyembunyikan perasaan yang tidak menentu.

"Nun, kita ke kantin yuk! Aku lapar nih."suara Anin cukup mengejutkanku. 

Aku tidak bisa berpikir lebih panjang selain mengikuti langkahnya.

Aku cukup mengenal rumah sakit tempat merawat Ardi ini. Beberapa teman mahasiswaku sering mengajakku kesini. Rumah sakit yang bertaraf internasional ini mempunyai banyak tempat makan di sekitarnya. 

"Kita ke kantin saja ya Anin. Lokasinya dekat sini kok."aku memberi pilihan spontan.

"Oke. Yang penting kita ga boleh ikut sakit ya."Anin dengan cepat sepakat.

Antara aku dan Anin sebenarnya tidaklah terlalu akrab. Beberapa kali pertemuan dengan Anin , selalu ada Ardi. Ini adalah pertemuan empat mata pertamaku dengan Anin. 

Kami duduk berhadapan di kantin dan tidak ada ide masing-masing membuka percakapan. Sampai kemudian pelayan kantin menghampiri kami.

"Sang a-rai kha(=Mau pesan apa)?" kata pelayan kantin dalam bahasa Thai. Meskipun Anin sudah lama disini, namun dia lebih suka menggunakan bahasa Inggris. 

"I'd like one papaya salads, please."kata Anin sambil menunjukkan gambar katalog yang ada didepannya.

Dari pesanan makannyanya, sebenarnya Anin tidak begitu lapar. Perasaanku mengatakan ada sesuatu yang lebih penting daripada sekedar makan.

"Nun, .... boleh saya bicara?"kata-kata Anin seperti panah yang siap mengarah ke jantungku.

"Ya ... silakan."aku mencoba tenang.

Anin kemudian membuka tasnya perlahan. Aku mengamatinya dengan detail yang membuat terus bertanya-tanya dalam hati. Dari dalam tasnya, rupanya Anin mengeluarkan ponsel yang kemudian dia tunjukkan sebuah pesan singkat yang tersimpan dalam kotak masuk surat.

"Ardi melamarku dua hari yang lalu, Nun. Bagaimana menurutmu? Aku belum menjawabnya karena ingin bertemu denganmu terlebih dahulu. Namun rupanya takdir mempertemukan kita dalam situasi seperti ini." ucapan Anin meluncur dengan lancar.

"Hah, kenapa dengan aku?" tanyaku dengan nada agak heran. Bisa saja dia memutuskan sendiri. Tidak ada hubungannya dengan aku. 

Hufft kenapa hatiku jadi tidak karuan dengan kabar ini. Lidah terasa pahit dan sudah tidak ada selera makan lagi. Apakah aku cemburu? Untuk apa? Bukankah memang tidak ada hubungan apapun antara aku dengan Ardi? Bukankah aku hanya berniat belajar hingga selesai di negeri orang ini? Ahhh pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk dalam hati yang begitu membingungkan bagiku.

"Kamu khan teman main Ardi dari kecil Nun. Aku pengen tahu apakah Ardi dulu punya pacar di kampung halamannya?"tanya Anin dengan sedikit bernada menyelidik.

"Kalau soal pacar, aku tak tahu. Tapi Ardi sudah memilih kamu. Itu artinya meskipun dia punya pacar sekalipun, dia telah menetapkan hatinya untukmu. Aku tahu persis dengan sikap Ardi dari kecil. Penuh pertimbangan memang, namun begitu memutuskan sesuatu berarti itu adalah yang terbaik, tidak hanya baginya namun keputusan terbaik dan yang terbaik."aku mencoba memberikan pendapatku sebisanya meskipun menahan perasaan yang semakin tidak jelas.

Sesekali aku menarik napas dalam setipis mungkin agar Anin tidak melihatnya.

"Bagaimana denganmu, Nuni?"tanya Anin tiba-tiba.

"Aku? Kenapa lagi denganku" tanyaku sedikit kaget. Perasaanku makin berkecamuk.

"Apakah kamu mencintai Ardi, Nuni?"tanya Anin tanpa basa basi.

Aku terdiam.

Aku mencoba mengalihkan kegalauan dengan mulai makan sehingga aku tidak harus cepat memberi jawaban atas pertanyaan itu.

"Tidak perlu dijjawab, Nun. Karena sebenarnya aku bisa membaca perasaanmu terhadap Ardi. Sejak kedatanganmu ke Bangkok sini, aku sebenarnya tidak bisa myembunyikan kecemburuan hatiku. Selama ini aku menemaninya bersama dalam segala aktivitasnya. Namun yang aku lihat berbeda. Ardi bisa saja bilang bahwa kamu hanyalah teman main waktu kecilnya, namun sebagai wanita dewasa, kita pasti tahuseperti apa perasaan wanita itu."Anin begitu tenang mengatakan semua itu.

"Nun, aku ingin meminta ijin kepadamu. Setelah Ardi sembuh nanti, aku ingin menerima lamarannya. Aku mencintai Ardi, Nun dan aku ingin Ardi menjadi suamiku kelak"kata-kata Anin tenang dan tegas. Seolah dia ingin menunjukkan bahwa mulai sekarang memintaku menjauhi Ardi. Itu berarti orang yang menelpon, mengaku dari kedutaan adalah Anin!

Aku tak sanggup lagi menghadapinya. Sikapku jelas salah. Seharusnya aku tetap duduk dan menunggu Ardi sembuh dan keluar dari ruang perawatan. Namun aku tak sanggup membayangkan ketika Ardi melihat ekspresiku yang memang susah untuk disembunyikan. Dari kecil Ardi tahu betul sifatku dan begitu juga sebaliknya, aku tahu persis siapa Ardi. mengenai lamaran yang disampaikan Anin, aku masih tidak habis pikir. Mengapa Ardi memutuskan melamar Anin? Apakah ada hubungan dengan kecelakaan yang terjadi pada Ardi?

Aku pun pergi pulang tanpa sempat pamitan dengan Ardi. Percakapan yang tidak akan pernah aku anggap ada. Kini aku harus fokus pada cita-citaku.

Mengapa aku harus menangis?

Mengapa?

Apakah ini yang dinamakan rasa cinta ...? Apakah ternyata .... selama ini .... aku mencintai Ardi...?

......... (bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun