"Bagaimana denganmu, Nuni?"tanya Anin tiba-tiba.
"Aku? Kenapa lagi denganku" tanyaku sedikit kaget. Perasaanku makin berkecamuk.
"Apakah kamu mencintai Ardi, Nuni?"tanya Anin tanpa basa basi.
Aku terdiam.
Aku mencoba mengalihkan kegalauan dengan mulai makan sehingga aku tidak harus cepat memberi jawaban atas pertanyaan itu.
"Tidak perlu dijjawab, Nun. Karena sebenarnya aku bisa membaca perasaanmu terhadap Ardi. Sejak kedatanganmu ke Bangkok sini, aku sebenarnya tidak bisa myembunyikan kecemburuan hatiku. Selama ini aku menemaninya bersama dalam segala aktivitasnya. Namun yang aku lihat berbeda. Ardi bisa saja bilang bahwa kamu hanyalah teman main waktu kecilnya, namun sebagai wanita dewasa, kita pasti tahuseperti apa perasaan wanita itu."Anin begitu tenang mengatakan semua itu.
"Nun, aku ingin meminta ijin kepadamu. Setelah Ardi sembuh nanti, aku ingin menerima lamarannya. Aku mencintai Ardi, Nun dan aku ingin Ardi menjadi suamiku kelak"kata-kata Anin tenang dan tegas. Seolah dia ingin menunjukkan bahwa mulai sekarang memintaku menjauhi Ardi. Itu berarti orang yang menelpon, mengaku dari kedutaan adalah Anin!
Aku tak sanggup lagi menghadapinya. Sikapku jelas salah. Seharusnya aku tetap duduk dan menunggu Ardi sembuh dan keluar dari ruang perawatan. Namun aku tak sanggup membayangkan ketika Ardi melihat ekspresiku yang memang susah untuk disembunyikan. Dari kecil Ardi tahu betul sifatku dan begitu juga sebaliknya, aku tahu persis siapa Ardi. mengenai lamaran yang disampaikan Anin, aku masih tidak habis pikir. Mengapa Ardi memutuskan melamar Anin? Apakah ada hubungan dengan kecelakaan yang terjadi pada Ardi?
Aku pun pergi pulang tanpa sempat pamitan dengan Ardi. Percakapan yang tidak akan pernah aku anggap ada. Kini aku harus fokus pada cita-citaku.
Mengapa aku harus menangis?
Mengapa?