Mohon tunggu...
Yudi Wahyudi
Yudi Wahyudi Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan yang sedang memulai tataran praktis.

Domisili di kota hujan, sering mampir di ujung pulau jawa.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Romantika Sanitasi: Visi Besar yang Masih Tersendat

4 Februari 2020   00:00 Diperbarui: 6 Februari 2020   20:22 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Prolog

Sekedar cerita pada suatu masa yang sayang untuk dilupakan. Jangan dijadikan rujukan apalagi pedoman karena manusia sering lupa atau salah menyimak peristiwa. Cukup lah sebatas Romantika .

Karena Harus Eksis

Seorang NTU di sekitaran tahun 2006 berucap alasan pembentukan TTPS (Tim Teknis Pembangunan Sanitasi) sebagai Lembaga adhoc lintas kementerian: "Sanitasi harus dipisahkan dari air minum karena pasti akan kalah seksi dan selalu tertinggal". Padahal sudah ada Pokja AMPL (Air Minum dan penyehatan Lingkungan) yang sudah mencakup sektor sanitasi.

Waktu berjalan dan sekitar 1-2 tahun kemudian tiba-tiba kita banyak menyaksikan diskusi dengan topik khusus sanitasi dengan bobot, bukan sekedar basa-basi dan normatif. Para pejabat eselon I dan II hampir rutin berdiskusi merumuskan strategi pembangunan sanitasi ke depan secara serius tapi santai lewat breakfast meeting ataupun dinner meeting. Pejabat-pejabat ini rela bekerja lebih awal di pagi hari dan memperpanjang waktu kerjanya hingga lewat waktu isha untuk "sekedar" diskusi sanitasi. "Baru nih para dirjen dari Kemenkes, Kemen PU, Bappenas, dan kemendagri bisa kumpul satu meja ngomongin sanitasi", ucap seorang pejabat eselon II penuh kagum dan bangga.

Setiap jalan mendaki akan menemukan puncaknya. Konferensi Sanitasi Nasional (KSN) di Oktober 2007 jadi tonggak penting bahwa SANITASI telah menjadi isu nasional dan layak didiskusikan secara nasional. Para menteri hadir: Menteri PU, Menteri PPN/Kepala Bappenas, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Perindustrian. Sejumlah Lembaga donor internasional serta puluhan pemerintah daerah pun turut hadir. Tiga hari saling bicara dan mendengar tentang kebijakan, program, dan strategi penanganan sanitasi nasional tentu bukan kaleng-kaleng. Bahkan, 2 tahun kemudian, KSN 2009 berhasil menarik perhatian Wakil Presiden RI kala itu, Pak Boediono, untuk berkenan menerima peserta KSN di kantor wapres sekaligus membuka perhelatan tersebut.

SenSANITASIonal, Sensasinya Sanitasi

Perjalanan di atas tentunya tidak instan, ada rangkaian proses panjang melalui advokasi dan pemasaran ide. Enabling Environment istilah saat itu. Mencoba memasukkan isu sanitasi ke dalam arus informasi nasional melalui persaingan yang sangat ketat bersama isu-isu lainnya, Mainstreaming katanya. Kegiatan talkshow di stasiun radio dan TV nasional hingga produksi in-house media sekreatif mungkin agar sexy diproduksi sebagai amunisi memenuhi seluruh kanal informasi saat itu. Belum lagi dukungan Majalah Percik terbitan Pokja AMPL dengan jangkauan luas banyak memberi porsi besar isu sanitasi. Dan pada masanya, TTPS dengan dukungan ISSDP dan Bank Dunia merupakan perintis buku-buku panduan terbitan pemerintah dengan tampilan sangat menarik, informatif, narasi yang cakap, grafis menawan, dan kualitas cetak yang mewah. 

Sekali lagi, itu semua tidak instan apalagi spontan. Berawal dari strategi komunikasi untuk memasarkan isu dan ide. Targetnya, semua orang terutama pejabat dan media: "Hey, ada sanitasi. Masa sih tidak tertarik?"

Pada satu titik secara agak masif muncul lah kesadaran tentang pentingnya advokasi dan pemasaran isu sanitasi. Beberapa pelatihan diselenggarakan bagi para pejabat dan praktisi pembangunan sanitasi, baik hanya sekedar supaya bisa membuat sendiri foto essay, komik, hingga berharap bisa membuat film pendek. Para pejabat menengah pun mulai merasa butuh untuk mampu bicara di depan media, baik di acara khusus atau pun sekedar Doorstop. Mereka bertekad untuk menjadi juru bicara sanitasi yang handal di depan publik.

Pun bagi pelaku sektor sanitasi di daerah. Para abdi negara sadar bahwa perlu ilmu komunikasi untuk mengadvokasi pimpinan eksekutif dan legislatif di wilayahnya supaya pengalokasian sumber daya bagi pembangunan sanitasi tidak kalah seksi dengan jalan raya dan jembatan.

Memanen Dukungan, Melebarkan Jangkauan

Bagi pelaku sektor sanitasi setidaknya di pertengahan tahun 2000-an tentu mengenal singkatan dari TTPS dan ISSDP (Indonesia Sanitation Sector Development Program). Berangkat dari keberhasilan pelaksanaan pilot di 12 kota di tahun 2006-2007, di tahun 2009 bersamaan dengan penyelenggaraan KSN 2009, lahirlah program berskala nasional bernama Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP). Selama sekian tahun berikutnya PPSP menjadi semacam payung bagi program dan kegiatan sanitasi secara nasional saat itu.

Pada dasarnya PPSP mendorong pemerintah daerah untuk memperbaiki perencanaan pembangungan sanitasinya dengan menyusun Strategi sanitasi Kabupaten/Kota (SSK). SSK ini menjadi semacam cetak biru bagi daerah dalam pembangunan sanitasinya. Ada tumpang tindih dengan dokumen perencanaan lain tentunya, yang membedakannya adalah pemenuhan 4 prinsip: 1) dari, oleh, dan untuk kabupaten/kota; 2) berbasis data empiris; 3) Bersifat multi sektor; dan 4) mempertemukan pendekatan Top Down dan Bottom Up.

Prinsip pertama harus dilaksanakan agar pemerintah dan komponen masyarakat terlibat dalam perencanaan, tidak hanya sebagai produk konsultan yang akan tersimpan rapih di lemari arsip. Intinya, daerah sendiri lah yang sebenarnya paling mengenal kebutuhannya. Prinsip kedua harus berjalan agar perencanaan memiliki pijakan kuat untuk menghitung target dan sumber daya yang diperlukan. Selain itu, prinsip kedua ini mendorong seluruh pihak terkait semisal dinas-dinas menyepakati satu paket data sanitasi agar perencanaan berangkat dari titik yang sama. Prinsip kedua ini sejalan dengan prinsip ketiga yang mengharuskan seluruh dinas terkait untuk saling berkomunikasi dan berkoordinasi. Tidak hanya saat perencanaan, namun juga saat implementasi hingga Monev-nya.

Terakhir, prinsip keempat merupakan hasil pembelajaran di masa lampau. Pendekatan Bottom Up sempat menjadi rujukan keberhasilan suatu proyek atau program. Namun ternyata perkembangannya tidak mampu mengimbangi kecepatan kebutuhan. Pendekatan ini cukup berhasil di tingkat komunitas atau wilayah terbatas namun tersendat saat diadopsi dalam skala kabupaten/kota. Melalui kompromi dengan pendekatan Top Down lah diharapkan mampu melipat-gandakan pertumbuhan secara masif. Pemerintah memiliki visi pembangunan yang jelas dengan segala konsekwensinya, masyarakat memiliki peluang berkontribusi untuk ambil bagian merinci kebutuhannya.

Tantangan Saat Tumbuh Membesar

Di masa pelaksanaan pilot hingga replikasi di sebagian daerah generasi pertama PPSP, ke-4 prinsip tersebut masih diterapkan karena pendampingan yang cukup kuat dengan sumber daya yang masih memadai. Namun bagi peserta PPSP di generasi berikutnya nampak hanya pemanis sebelum perancangan dan penulisan dokumen. Data yang masih belum terkonsolidasi bahkan bolong-bolong, terlalu Bappeda driven, tidak ada penanggung jawab jelas akibat rotasi pejabat, sekedar memenuhi arahan pusat, dan sebagainya sehingga lagi-lagi berisiko hanya menghasilkan dokumen yang akan hinggap di lemari buku kantor.

Alhasil, awalnya istimewa saat dilaksanakan di 12 kota, antusiasme pemerintah daerah luar biasa masih nampak di 41 kabupaten/kota berikutnya, namun menjadi "biasa" saat direplikasi secara massif di skala nasional. Teringat ucapan NTU lainnya tentang program komposting di suatu kota di Jawa Barat: "Komposting itu bagusnya di skala komunal, tapi akan kebingungan kalo sudah di skala kota. Bagaimana pemasarannya? Siapa mau beli?". Kita bisa cari alasan, misal: Saat suatu proyek atau program berskala pilot, hampir seluruh sumber daya utama dikerahkan dan hampir pasti memadai karena besaran sasarannya masih kecil, itulah Pilot. Namun saat replikasi massif, cukupkah sumber daya kita untuk mengelolanya? Bisa jadi sumber daya yang belum siap atau memang sistemnya tidak siap untuk naik kelas ke panggung nasional.

Paket Lengkap yang Belum Dicoba Secara Lengkap

PPSP telah menyiapkan roadmap pelaksanaan secara lengkap. Target jumlah kabupaten/kota, penjaringan minat dan komitmen, penyiapan tenaga ahli dan pendamping, hingga pelibatan provinsi selaku kepanjangan pemerintah pusat. Materi paket panduan lengkap pun sudah siap: modul penyusunan dokumen perencanaan, skema pembiayaan alternatif, panduan advokasi, opsi teknologi, dan seterusnya. 

Sayangnya, pemerintah daerah masih terperangkap di tataran perencanaan dan kebingungan untuk mentransformasikannya menjadi kegiatan pembangunan fisik dan non fisik. Again, alasan kekurangan anggaran menempati urutan teratas. Bagi sebagian besar pemerintah daerah mungkin ide dan konsep di dalam buku panduan PPSP tersebut masih sebatas teori dan wacana.

Omong-omong, tidak semua kisah sukses di satu daerah dapat diadopsi atau direplikasi di daerah lainnya. Setiap daerah seharusnya mampu membuat kisah sukses sendiri dan menularkan daya kreatifitasnya ke daerah di sekitarnya. Kisah sukses sebaiknya dibatasi sebagai inspirasi yang harus melalui olah pikir lebih lanjut sebelum ditiru. Setidaknya pakailah prinsip yang kita kenal, ATM: Amati, Tiru, jangan lupa Modifikasi sesuai kondisi.

Akhirul Paragraf

Cetak biru pembangunan berupa dokumen SSK lalu MPS (Memorandum Program Sanitasi) masih belum cukup kuat untuk menarik "investor" membiayai proyek-proyek sanitasi. Bisa jadi karena tidak mampu memasarkannya atau memang semangatnya terhenti di dokumen tersebut karena hanya menjadikannya syarat untuk memperoleh bantuan dari Pemerintah Pusat.

Apakah kita sedang menyalahkan pemerintah daerah? Mungkin sedikit, Pemerintah Pusat pun memiliki andil tentunya. Pelaksanaan PPSP periode 2009 - 2014 yang selanjutnya bertransformasi menjadi Universal Access di periode 2015 - 2019  masih meninggalkan PR  dan pertanyaan-pertanyaan besar bagi Pemerintah Pusat: "Sudah realistiskah target yang telah ditetapkan?", "Sudah memadaikah upaya pusat memampukan daerah", dan seterusnya hingga berujung pada pertanyaan:  "Strategi dan program apa lagi yang bisa dicoba untuk mendorong pemenuhan layanan sanitasi yang layak bagi rakyat Indonesia...?".

Mari kita lihat data resmi Monev STBM terbaru yang menyebutkan masih ada 8,6 juta keluarga yang masih BAB sembarangan. Itupun sudah dikurangi 5,7 juta keluarga yang masih BAB di jamban umum atau menumpang di tetangganya. Artinya, masih ada sekitar 30 - 40 juta manusia Indonesia yang masih sebar kotoran di tanah airnya secara tidak layak. Itulah capaian bersama setelah 13 tahun berjuang agar sanitasi eksis. Dan tentu masih panjang dan penuh liku yang tak mudah.

Bonus

Terakhir, tahukan Anda, isu sanitasi terseksi di antara 3 sub-sektornya? Menurut penulis sih: Air limbah! Persampahan dulu mungkin pernah berjaya karena punya UU Persampahan sendiri. Drainase nampak hanya lah isu selewatan. Bahkan saat banjir besarpun kalah saing dengan cerita masa lalu tentang penggundulan hutan dan sungai meluap. Teringat "Propaganda" saat mengawali program sanitasi di sekitaran 2006-2008: "70 juta orang Indonesia masih BAB sembarangan". Padahal angka itu tidak seberapa dibanding India yang mencapai 700 juta orang wkwkwk. Belum lagi "Ada 11 ribu ton tinja manusia yang setara 3.500 ekor gajah Sumatra setiap hari dibuang di sekitar kita". "Bikin lah semua informasi bombastis", perintah NTU. Tentu disertai data. Alfatihah.

Muncar, 3 Februari 2020

Jam laptop: 11.11 PM

Kredit senSANITASIonal untuk Bro HI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun