Ketiga konsol tersebut juga memiliki pendekatan berbeda terhadap grafis 3D. Nintendo 64 menggunakan sistem berbasis kartrid dengan chip khusus yang disebut Reality Co-Processor (RCP) yang memberikan kemampuan pemrosesan 3D yang sangat optimal. Sega Saturn memiliki CPU ganda dan dua prosesor grafis (VDP1 dan VDP2) yang memungkinkan grafis 2D dan 3D berlapis-lapis. PlayStation, di sisi lain, memiliki prosesor grafis (GPU) 3D khusus yang menawarkan kemampuan rendering 3D yang solid dan pemetaan tekstur.
Setiap konsol memiliki desain joystick yang unik. Nintendo 64 memperkenalkan joystick yang inovatif dengan stik analog ikonik dan tombol pemicu. Sega Saturn menampilkan joystick dengan tata letak enam tombol yang mirip dengan pendahulunya, Sega Genesis. PlayStation memperkenalkan pengontrol DualShock, yang menambahkan stik analog dan umpan balik getaran, sehingga meningkatkan pengalaman bermain game.
Beberapa di antara kita yang besar di tahun 1990-an atau 2000-an awal pasti menghabiskan masa kecil kita dengan game-game PS1 seperti Crash Bandicoot, Winning Eleven, Pepsi Man, Final Fantasy VII, Metal Gear Solid, Gran Turismo, dan Tekken 3. Heck, bahkan tiga game pertama serial Tekken dirilis di PS1. Ketika besar dengan Tekken 3, saya belum paham kombo, hanya sembarang pencet, langsung menang. Baru sekarang setelah dewasa saya mulai serius ingin mempelajari kombo-kombo para karakter, mulai dari Paul, Leo, Claudio, dan Shaheen yang ramah pemula hingga karakter yang susah dimainkan seperti Xiaoyu, Yoshimitsu, Hwoarang, Eddy, King, Lei, dan Steve.
Ketika itu sedang transisi dari era 16-bit ke era 32-bit, dan saat itu Sega membutuhkan konsol yang dahsyat. Jadilah, mereka melahirkan Sega Saturn, konsol pertama yang menandai tibanya era 32-bit. Namun, dibandingkan dengan PS1, Saturn gagal di pasaran. Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap kegagalan Saturn adalah arsitektur perangkat kerasnya yang ruwet, yang menampilkan CPU ganda dan dua prosesor grafis. Sebagai kebalikannya, PS1 memiliki arsitektur yang lebih sederhana dan ramah terhadap pengembang.
Bahkan di hari rilisnya, PS1 berhasil menjual 100 juta unit.
Lima tahun kemudian, Pak Kutaragi tidak puas. Beliau mengembangkan PlayStation 2 sebagai penerus PS1. Kesuksesan luar biasa dari PS1, baik secara kritis maupun komersial, membuat Sony menyadari potensi industri game. Hal ini menunjukkan adanya pasar yang signifikan untuk konsol game dan membuka peluang baru bagi Sony.
Pak Kutaragi memimpikan konsol generasi berikutnya dengan teknologi dan kemampuan yang lebih baik. Beliau mengantisipasi bahwa kemajuan dalam prosesor, grafis, dan penyimpanan akan memungkinkan pengalaman bermain game dan fungsi multimedia yang lebih canggih.
Pak Kutaragi menyadari akan peningkatan popularitas teknologi DVD pada pertengahan tahun 1990-an dan potensinya untuk konsol game. DVD menawarkan kapasitas penyimpanan lebih besar, kualitas video lebih baik, dan potensi kemampuan multimedia. Beliau melihat peluang untuk memanfaatkan teknologi ini untuk konsol PlayStation berikutnya.
Guna mewujudkan visi konsol berbasis DVD, Pak Kutaragi memprakarsai kolaborasi dengan Toshiba, salah satu produsen drive DVD terkemuka. Kemitraan ini memungkinkan Sony untuk memasukkan teknologi DVD ke dalam PlayStation 2, memberikan peningkatan kapasitas penyimpanan untuk permainan dan kemampuan untuk memutar film DVD.Â
Kutaragi menginginkan PS2 menjadi lebih dari sekedar konsol game. Beliau bertujuan untuk menciptakan perangkat hiburan multimedia yang dapat berfungsi sebagai hub untuk konektivitas game, film, musik, dan internet. PS2 menampilkan pemutaran DVD internal, kompatibilitas dengan game PlayStation, dan port ekspansi untuk pelbagai periferal.
Kemudian, Pak Kutaragi memimpin pengembangan Emotion Engine, prosesor yang dirancang khusus untuk PS2. Chip yang kuat ini menggabungkan fungsionalitas CPU dan GPU, memungkinkan grafis tingkat lanjut, simulasi fisika, dan kecerdasan buatan dalam game.