Bahkan dengan dukungan sorot media dan penuh dengan figure artis yang banyak terlihat di jagat hiburan sekalipun, pada konteks Perindo tidak benar-benar dapat mendongkrak dukungan suara secara signifikan. Tata kelola partai dengan pola manajemen artis, tentu berbeda dalam ranah politik.
Ketiga: perolehan kandidat Ganjar-Mahfud hanya mendulang 16.27 persen suara, meski didukung partai peringkat pertama PDI perjuangan dengan perolehan 16.29 persen. Situasi ini dapat diterangkan sebagai kondisi “gembos”-nya suara "Banteng".
Bisa jadi karena faktor eksternal, kapasitas koalisi lain yang bergerak sistematik dan lebih cepat dibandingkan kerja koalisi Ganjar Mahfud dalam menjaga basis suara. Faktor Jokowi agaknya memberi pengaruh bagi pergeseran pemilih.
Perlu juga dilihat aspek internal dari konsolidasi kekuatan faksi partai, yang sebelumnya tidak bulat mengajukan nama Ganjar.
Hal ini juga berimbas pada partai koalisi lain, semisal PPP hanya mencapai 3.91 persen suara, sehingga berpotensi terancam tidak lolos parlemen. Partai berlambang Kabah ini tentu sedang harap-harap cemas menanti Real Count. Babak belur karena tidak mampu memperoleh keunggulan, di dua medan perang sekaligus Pilpres dan Pileg.
Keempat: Pasangan Anies-Muhaimin dengan meraup 25.22 persen suara, berada dalam performa stagnan. Bahkan tidak mampu menggeser pemilih yang bimbang, dan belum menentukan pilihan. Relatif sedikit memperoleh suara dari pemilih mengambang.
Praktis, perolehan suara dikontribusi secara solid dari pemilih partai pengusung dengan sedikit bauran dari kelompok simpatisan. Agenda perubahan didukung dengan kemampuan retorika publik yang menarik, ternyata belum mampu menarik simpati dan ketertarikan publik secara meluas.
Meski begitu, hampir semua partai pengusung koalisi perubahan mendapatkan efek dari Pilpres. PKB dengan 10.79 persen mengalami kenaikan, disusul Nasdem memperoleh besaran 9.89 persen, diikuti PKS mendapuk suara 8.41 persen. Besaran yang cukup untuk membangun kekuatan oposisi.
Kelima: secara tematik, koalisi pengusung jargon perubahan hanya mampu bersirkulasi di lingkaran dengan lapisan terbatas. Pesan dalam gagasan perubahan yang dikirimkan, tidak secara kuat ditangkap oleh radar publik akibat begitu banyak gangguan transmisi sinyal.
Disisi lain, pilihan diksi kampanye dengan joget, makan siang gratis dan gemoy sebagai narasi koalisi keberlanjutan justru mudah diterima, sebagai hal yang menyenangkan bagi publik. Ilustrasi tersebut menggambarkan bahwa tema politik elit dan berat, tidak mampu diserap dalam realitas publik.
Keenam: keikutsertaan pemilih muda dilandaskan pada karakteristik generasi Z dan milenial, dengan populasi pemilih pemuda yang dominan, sekitar 55% atau 114 juta suara. Kelompok ini lekat secara digital, mendapatkan informasi melalui sosial media dalam cakupan yang terbatas, serta mudah dipengaruhi.