Walhasil, langkah praktis yang dapat dilakukan, diantaranya (i) menaikkan nilai besaran premi, (ii) menurunkan cakupan manfaat, (iii) memperluas jangkauan kepesertaan, (iv) meningkatkan disiplin bayar, perbaikan kolektibilitas tagihan, hingga (v) keterlibatan pemerintah pusat dan daerah.
Tetapi patut diingat, bahwa problem kesehatan ada dalam rentang terbuka, dengan berbagai kemungkinan, bukan sekedar aspek kalkulasi matematis. Termasuk berkaitan dengan skema anggaran pembiayaan, karena itu porsi terbesar terletak pada tanggung jawab pemangku kekuasaan.
Urusan kesehatan publik akan menjadi problematika rumit, manakala dibentuk secara murni melalui mekanisme pasar. Logika permintaan dan penawaran akan berbicara tentang kemampuan ekonomi, meninggalkan perlindungan bagi kelompok terbawah.
Tersebab itu, mandatory spending sebagai nilai besaran dari anggaran wajib belanja kesehatan bersifat penting. Hal tersebut, justru menghilang dari UU Kesehatan yang baru. Sulit dipahami bila para pengambil kebijakan mengasumsikan anggaran wajib tidak berkorelasi dengan masalah kesehatan.
Amanat UU Kesehatan, yang ditujukan bagi perluasan akses kesehatan publik terasa hampa, karena ketiadaan komitmen serta tanggung jawab pada kepentingan publik. Seakan menghindari kewajiban konstitusional yang "melindungi segenap warga bangsa" dan "memajukan kesejahteraan umum".
Lebih jauh lagi kompleksitas dalam UU Kesehatan menempatkan kuasa pengelolaan BPJS Kesehatan nantinya akan berada di bawah koordinasi Kementerian Kesehatan -Kemenkes. Dengan seabrek tugasnya, mampukah Kemenkes memiliki fokus dalam mengatasi masalah BPJS Kesehatan.
Terlebih, jelang pergantian kepemimpinan nasional di 2024. Tentu, sinyal defisit BPJS Kesehatan pada 2025 tidak bisa diabaikan. Terutama bagi siapa saja aktor yang hendak berlaga di pentas politik. Tapi butuh lebih dari sekedar janji manis kampanye, sebab kesehatan berkait soal hidup-mati.
Dalam konteks kesehatan, kita berhitung usia, tentang kualitas kehidupan, serta berbicara mengenai nyawa warga negara, yang teramat sayang tersia-sia jika tujuan politik hanya kekuasaan semata, dan tidak memikirkan perkara hajat publik, sebagaimana res-publica dimaknai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H