Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sinyal BPJS Kesehatan dalam Gulungan Naskah UU Kesehatan

29 Juli 2023   07:45 Diperbarui: 29 Juli 2023   07:48 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Alarm siaga! Sinyal kewaspadaan akan potensi defisit program BPJS Kesehatan telah disampaikan. Situasi tersebut diproyeksi terjadi pada 2025. Kondisi ini perlu mendapatkan perhatian serius. Terlebih setelah UU Kesehatan disahkan.

Keberlangsungan BPJS Kesehatan, patut menjadi bagian penting dari bahasan para pihak yang akan berkontestasi di panggung politik. Formula dari solusi keberlanjutan dan kesinambungan program tersebut, sepantasnya menjadi bagian dari gagasan politik yang perlu diutarakan.

Program kesehatan nasional ini mencakup seluruh populasi penduduk, dengan skema Universal Health Coverage, asuransi sosial semesta. Data terakhir menunjukkan kepesertaan mencapai 257 juta, atau meliputi sekitar 95 persen penduduk.

Tidak bisa dibayangkan, bila format jaminan kesehatan nasional yang menyangkut hajat hidup publik ini, justru sepi dari keriuhan panggung politik. Padahal kesehatan adalah syarat dasar bagi kehidupan berkualitas, sebuah modal utama dalam mendorong pembangunan.

Diperkirakan defisit akan membengkak hingga Rp 11 triliun. Dengan pernyataan sedari awal, bahwa tidak akan ada kenaikan iuran BPJS Kesehatan di tahun 2024. Hal tersebut merupakan, imbas arus kas positif yang dimiliki.

Sesungguhnya defisit BPJS Kesehatan telah berulang kali terjadi. Bahkan sejak awal dilaksanakannya program kesehatan nasional ini. Meski sempat mencatat surplus yang terjadi saat pandemi, namun sebagian kalangan menyebutnya "semu".

Akumulasi positif yang sekitar Rp 56 triliun tersebut, dikontribusikan setidaknya melalui dua hal; (i) tingkat utilisasi yang rendah kala pandemi, dan (ii) dampak dari kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan pada 2020. Situasi ini mungkin berbalik, jika arus utilisasi pelayanan kesehatan kembali secara normal.

Saldo BPJS Kesehatan, akan terpakai dengan optimal, manakala penggunaan pelayanan kesehatan publik berangsur "pulih". Hal ini sekaligus mencerminkan bahwa kondisi kesehatan masyarakat yang tidak baik. Proyeksi defisit perlu diantisipasi, menghindari potensi konflik.

Pernyataan bahwa tarif premi BPJS Kesehatan tidak akan naik di 2024, seolah menjadi upaya untuk menciptakan stabilitas ruang politik di tahun politik. Padahal, pengarusutamaan sektor kesehatan harus melibatkan peran serta para aktor dalam kancah politik, sebagai bentuk "keberpihakan".

Persoalan Tanggung Jawab 

Problematika defisit anggaran, secara teknis akan berdampak pada pelayanan publik, menghadirkan realitas konflik antara pemberi serta penerima layanan kesehatan. Gangguan cashflow BPJS Kesehatan, mengakibatkan tersendatnya operasional pelayanan di lapangan. Publik tidak maksimal tertangani.

Walhasil, langkah praktis yang dapat dilakukan, diantaranya (i) menaikkan nilai besaran premi, (ii) menurunkan cakupan manfaat, (iii) memperluas jangkauan kepesertaan, (iv) meningkatkan disiplin bayar, perbaikan kolektibilitas tagihan, hingga (v) keterlibatan pemerintah pusat dan daerah.

Tetapi patut diingat, bahwa problem kesehatan ada dalam rentang terbuka, dengan berbagai kemungkinan, bukan sekedar aspek kalkulasi matematis. Termasuk berkaitan dengan skema anggaran pembiayaan, karena itu porsi terbesar terletak pada tanggung jawab pemangku kekuasaan.

Urusan kesehatan publik akan menjadi problematika rumit, manakala dibentuk secara murni melalui mekanisme pasar. Logika permintaan dan penawaran akan berbicara tentang kemampuan ekonomi, meninggalkan perlindungan bagi kelompok terbawah.

Tersebab itu, mandatory spending sebagai nilai besaran dari anggaran wajib belanja kesehatan bersifat penting. Hal tersebut, justru menghilang dari UU Kesehatan yang baru. Sulit dipahami bila para pengambil kebijakan mengasumsikan anggaran wajib tidak berkorelasi dengan masalah kesehatan.

Amanat UU Kesehatan, yang ditujukan bagi perluasan akses kesehatan publik terasa hampa, karena ketiadaan komitmen serta tanggung jawab pada kepentingan publik. Seakan menghindari kewajiban konstitusional yang "melindungi segenap warga bangsa" dan "memajukan kesejahteraan umum".

Lebih jauh lagi kompleksitas dalam UU Kesehatan menempatkan kuasa pengelolaan BPJS Kesehatan nantinya akan berada di bawah koordinasi Kementerian Kesehatan -Kemenkes. Dengan seabrek tugasnya, mampukah Kemenkes memiliki fokus dalam mengatasi masalah BPJS Kesehatan.

Terlebih, jelang pergantian kepemimpinan nasional di 2024. Tentu, sinyal defisit BPJS Kesehatan pada 2025 tidak bisa diabaikan. Terutama bagi siapa saja aktor yang hendak berlaga di pentas politik. Tapi butuh lebih dari sekedar janji manis kampanye, sebab kesehatan berkait soal hidup-mati.

Dalam konteks kesehatan, kita berhitung usia, tentang kualitas kehidupan, serta berbicara mengenai nyawa warga negara, yang teramat sayang tersia-sia jika tujuan politik hanya kekuasaan semata, dan tidak memikirkan perkara hajat publik, sebagaimana res-publica dimaknai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun