Pertanyaan setelahnya, dengan mengakumulasi seluruh tugas tersebut, RUU Kesehatan justru menghilangkan amanat yang esensial, yakni alokasi 10% anggaran kesehatan nasional diluar gaji pegawai.
Dengan demikian, secara rasional, mungkinkah apa yang diharapkan dapat menjadi sebuah kenyataan? Beban bertambah dengan ketidakpastian anggaran, adalah sebuah hal yang sulit dibayangkan.
Mungkinkah Kemenkes akan mampu mengurus berbagai hal yang selama ini telah dipisahkan, melalui beberapa kelembagaan lain? Jelas membutuhkan pengembangan organisasi, yang seturut kemudian menuntut penambahan sumberdaya. Tanpa dukungan anggaran keuangan, nampak mustahil.
Belum lagi menyoal kemudahan praktik bagi dokter asing, lalu akomodasi pengobatan tradisional. Ruang gerak bagi perkembangan ilmu kedokteran dan peningkatan kompetensi para dokter lokal menjadi semakin terbatas.
Keberadaan RUU Kesehatan ini harus dikaji ulang, bobot kepentingan publik ataukah ada kepentingan lain yang hendak dimenangkan?Â
Proses penyusunan yang terbilang singkat, dengan minimnya partisipasi organisasi dibidang kesehatan. Meski public hearing digelar, tetapi hasil akhirnya tetap ditentukan oleh para pengambil kebijakan, baik ditingkat eksekutif maupun legislatif.
Pada saat yang bersamaan, edaran dilingkup internal Kemenkes yang bocor di publik, tentang keharusan untuk mendukung RUU Kesehatan dan tidak memberikan komentar yang berseberangan, menambah rentetan pertanyaan baru.
Suara berbeda seolah tidak diperkenankan, padahal dinamika dan dialektika adalah cara untuk dapat memahami sebuah persoalan secara lebih utuh dan menyeluruh.
Dibagian akhir, terkait dengan aspirasi, seorang ahli bedah saraf, Prof dr Zainal Muttaqin, SpBS, PhD, diberhentikan dari pekerjaannya di RS Kariadi Semarang, karena kerap memiliki pandangan dan suara berbeda yang disampaikan dalam tulisan diberbagai media.
Bila sudah sedemikian jauh, upaya untuk membungkam opini dan pemikiran, terlebih menggunakan jalur kekuasaan, mungkin Anda bisa menebak kemana arah keputusan RUU Kesehatan akan berlabuh?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H